Rabu, 19 Juni 2013

Orang Kaya yang Manja

Kalangan menengah tega memakan subsidi rakyat miskin 


Tiap kali menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tiba-tiba bermunculan jargon-jargon pembelaan terhadap rakyat miskin. Para elit politik yang mendukung pengurangan subsidi ataupun yang menolak mengcungkan diri sebagai pembela orang bawah.

Faktanya, orang miskin adalah bukan pengguna utama BBM. Tengoklah kembali hasil Sensus Nasional 2011. Sebanyak 60 persen rumah tangga Indonesia menggunakan premium atau solar yang disubsidi pemerintah. Dari 60 persen  rumah tangga yang memiliki kendaraan, hanya 31,7 persen yang dimiliki rumah tangga golongan bawah.

Percaya atau tidak, sekitar 93 persen pengguna BBM itu adalah kalangan atas, hanya 7 persen subsidi dinikmati keluarga miskin.  Tengok data Kementerian ESDM yang menunjukan kebanyakan bensin dan solar dinikmati orang yang memiliki kendaraan. Pemilik mobil  53 persen, sedangkan motor 47 persen. Kalau pemilik mobil hampir pasti orang menangah ke atas, sedangkan motor bisa saja dimiliki orang kaya atau kelas bawah.

Data Kementerian Keuangan 2012 menyebutkan sebanyak  25 persen rumah tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77 persen subsidi BBM. Sebaliknya 25 persen rumah tangga berpenghasilan terendah menikmati 15 persen subsidi BBM

Jika melihat angka seperti itu, siapa yang akan tersengat jika harga premium dan solar naik? Jelas kalangan menengah yang akan terkena dampaknya paling terasa. Mereka akan membeli premium atau solar lebih mahal dari biasanya.

Dampak ikutannya, biaya jemputan anak sekolah naik,  baik yang naik ojek atau angkutan antar jemput. Biaya sekolah, khususnya yang swasta juga akan menaikan sumbangan renovasi sekolah, seragam, buku dan seterusnya.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pernah menyatakan rata-rata sehari, pemilik mobil menikmati subsidi Rp120 ribu perhari. Jika pemilik itu menggunakan mobil 30 hari  maka dia menghabiskan uang negara  Rp3,6 juta per bulan. Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan upah minimum buruh Jakarta yang hanya Rp2,2 juta per bulan. Di daerah lain, UMP bahkan lebih rendah dibandingkan di Ibu Kota.

Rasa keadilan jadi tercabik-cabik melihat kenyataan banyak mobil mewah tetap membeli premium. Pemilik mobil kinclong seharga di atas  Rp500 juta tidak malu antre bersama mikrolet lusuh, bus metromini karatan di SPBU. Spanduk bertuliskan Premium Hanya Untuk Golongan Tidak Mampu  yang tersebar di  banyak SPBU tidak menyentuh hati mereka sama sekali.
Kalangan menengah merupakan golongan yang rasional. Mereka bisa menghitung betapa besarnya diskon premium yang mereka terima. Jika harus membeli Pertamax, dia harus merogoh sekitar  Rp9.000  untuk satu liter. Bayangkan, premium hanya Rp4.500 per liter,  sehingga dia bisa hemat Rp4.500 per liter atau diskon 50 persen.

Kalangan menengah yang juga jago shopping ini, biasa mengejar diskon di toko-toko untuk baju, handphone, tas, sepatu, dan seterusnya. Diskon 20 persen saja sudah cukup menggugah nafsu belanja mereka. Jadi mengharapkan kalangan menengah untuk berbaik hati membeli Pertamax adalah sangat sulit, tidak rasional.

Di satu sisi, kalangan menengah yang boros BBM itu semakin banyak jumlahnya.  McKinsey Global Institute memperkirakan  kelas menengah Indonesia bakal mencapai 135 juta pada 2030 dari angka saat ini sekitar 50 juta orang.

Lembaga ini menyebut kelas menengah sebagai consuming class, yakni individu yang berpendapatan minimum US$3.600 per tahun atau sekitar Rp34,2 juta setara Rp2,9 juta per bulan.

Boston Consulting Group (BCG) memproyeksikan, jumlah konsumen kelas menengah di Indonesia akan mencapai 141 juta jiwa pada 2020. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibanding 2012  sekitar 74 juta orang. BCG mendefinisikan kelas menengah adalah warga   berpenghasilan minimum Rp2 juta per bulan. 

Pada 2020, Euromonitor International juga yakin kelas menengah di Indonesia bakal mencapai 58 persen  dari jumlah penduduk.  

Selain soal pendapatan yang bertambah, kalangan menengah juga memiliki gaya hidup yang jauh berbeda dibandingkan ketika miskin. Mereka menginginkan pendidikan lebih berkualitas, fashion trendi, suka piknik, kerap makan di restoran, selain memiliki rumah dan mobil baru tentunya.

Tapi perlu diingat, kalangan menengah ini hidup bersama orang miskin. Meskipun angka kemiskinan di Indonesua terus menurun, jumlahnya masih  banyak. Pada September 2012, jumlah penduduk miskin  mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen).


Jadi, relakanlah subsidi yang dinikmati orang kaya itu untuk kemudian dialihkan kepada si miskin. Penghematan subsidi itu akan dibangun sekolah, jalan, perbaikan angkutan umum dan sarana lain yang bisa dinikati bersama. Tak perlu manja lagi, toh?

Selasa, 18 Juni 2013

Pengelolaan Pesawat Tidak Sama dengan Mikrolet

Burung yang sehat bisa terbang secara aman.
NAIK pesawat selalu berbeda rasanya dengan menumpang bus umum. Meski sudah terbang berkali-kali, selalu saja rasa was-was hinggap sebelum take off maupun landing. Kadang untuk melepas stres, penumpang bertepuk tangan sesaat ban pesawat menyentuh landasan. Atau tidur sepanjang perjalanan.

Meski kecelakaan kendaraan darat tiap hari terjadi, kadang dengan jumlah korban tidak sedikit, pemberitaan di media tidak seheboh pesawat tergelincir. Berita pesawat jatuh selalu ramai dibicarakan. Tapi semua kegaduhan itu baik adanya yang mendorong teknisi memperbaiki kinerja pesawat. Terbukti, transportasi udara maju pesat dari sisi teknologi. Semua pihak selalu berusaha menuju standar "nol kecelakaan".

Kecelakaan MA-60 buatan China yang tergelincir di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (10/6) juga mengundang tanggapan serius. Merpati mendatangkan 14 pesawat secara bertahap pada 2007 dengan harga per unit US$ 11 juta atau Rp 94,08 miliar. Kinerja pesawat ini menjadi pertanyaan karena sudah banyak kecelakaan yang terjadi. Tragedi pesawat terparah adalah saat jatuh di Teluk Kaimana, Papua Barat, yang menewaskan20 orang pada 7 Mei 2011.

Insiden kecil pesawat ini sudah terjadi di berbagai tempat. Sebut saja MA-60 memercikan api di Bima, NTB (12/12/2011), terperosok di lahan gambut di Sampit, Kalteng, (8/1/2012), ban belakang tidak berfungsi dan pesawat terperosok di Lombok, NTB (31/12/2012).

Bukan saja di Indonesia, pesawat berkapasitas 60 orang ini juga bermasalah di negara lain. Kejadian terbaru 10 Juni lalu, pesawat Myanmar Airways terpeleset di kota Kawthaung. Kejadian sebelumnya di Zimbabwe, Filipina, dan Bolivia. Meski kebanyakan kecelakaan ringan, berita seperti itu menambah waswas orang yang akan menggunakannya.

Apalagi sebagian orang meragukan produk China dalam hal kualitas. Bertahun-tahun China membangun industrinya melalui produk murah untuk menembus pasar ekspor. Jika produk yang diimpor sekadar mainan anak-anak, kalau rusak langsung masuk tempat sampah. Bagaimana jika yang rusak pesawat?

Untuk beberapa hal China memang kontrakdiktif. Di satu sisi, mereka dengan sengaja menjual produk murah meski kualitas rendah. Di sisi lain, China mampu membuat pesawat terbang, bahkan wahana ruang angkasa.

Produk tiruan China sangat mirip dengan produk yang "dibajaknya". Lihat saja berbagai produk handphone dan gadget lain yang banyak ditemukan di negara itu termasuk Indonesia. Para pembeli sudah sadar, kalau produk itu bersifat untung-untungan. Kalau pas lagi dapat bagus, pembeli untung. Jika ternyata produknya buruk, ya anggap saja konsumen sedang sial.
Tentu dalam hal pesawat, China tak bisa untung-untungan. Kenyataannya, negara itu baru saja meluncurkan Shenzhou-10 tepat pukul 17.38 waktu setempat, Selasa (11/6).

Tiga astronot yang mengawaki masing-masing Nie Haisheng, Zhang Xiaoguang, dan Wang Yaping, astronot wanita kedua China. Mereka menjalani misi 15 hari di luar angkasa untuk menjajaki pembangunan stasiun luar angkasa. Shenzhou-10 bahkan sudah bergabung dengan laboratorium antariksa Tiangong 1 guna penelitian medis dan teknis.

Tapi keraguan atas produk China memang masih terdengar. Itulah sebabnya, pihak Merpati langsung bereaksi setelah kecelakaan pesawat MA-60. Dirut Merpati, Rudy Setyopurnomo memastikan MA-60 adalah pesawat aman berkat komponen buatan Amerika dan Eropa. "China hanya merakitnya, " katanya, Rabu (12/6).

MA-60 singkatan dari Modern Ark artinya "Menuju Keberuntungan". Sedangkan angka 60 berarti pesawat ini dapat mengangkut maksimal 60 penumpang. Pabriknya berada di kota Xian, yaitu AVIC -Xi'an Aircraft Industry (Group) Company LTD atau sering juga disebut Xi'an Aircraft International Corporation.

Pesawat ini dibuat dengan melibatkan banyak insinyur berbagai negara. Desain pesawat MA-60 oleh Anatonov, mesin buatan Kanada, komponen lainnya dari Amerika dan Eropa. Cara pembuatannya mirip dengan pesawat diproduksi PT Dirgantara Indonesia dengan CN-250 yang melibatkan kerja sama Casa (Spanyol) dan Nurtanio/Nusantara.

Bedebat soal kecanggihan pesawat seringkali tidak ada ujung pangkalnya. Produsen selalu menyebut pesawat buatannya bagus. Kita sebagai konsumenlah yang harus waspada.
Semakin hari jumlah penerbangan di Indonesia makin banyak. Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar menyatakan lima tahun terakhir pertumbuhan penumpang pesawat naik 10-18 persen. Tapi masih banyak orang Indonesia yang tidak pernah naik pesawat selama hidupnya. "Dari 250 juta penduduk Indonesia, yang naik pesawat baru 80 juta orang," katanya di Nusa Dua Bali di depan forum Pemred.

Emirsyah membandingkan dengan Singapura. Negara mungil itu hanya dihuni 5 juta penduduk. Tapi mereka berulang kali naik pesawat, hingga mencapai 35 juta orang. Sementara Australia dengan 22,8 juta penduduk memiliki penumpang hingga 77 juta orang.

Artinya akan banyak pesawat yang akan lalu-lalang di udara Indonesia, mengingat banyak warga yang mulai gandung terbang. Banyak pengusaha yang berebut untuk membangun maskapai. Tapi perlu diingatkan, membangun bisnis penerbangan tidak sama dengan angkutan darat, katakanlah mikrolet yang sangat semrawut saat ini. Jangan sampai Indonesia menjadi "kuburan" pesawat. (pernah dimuat di Jurnal Nasional 15 Juni 2013) n Rihad Wiranto