Rupiah terus melemah (foto: saibumi.com) |
Nilai tukar rupiah dalam transaksi antarbank di Jakarta , Senin sore (29/9)
melemah 107 poin menjadi Rp12.155 dibandingkan posisi sebelumnya Rp12.048 per
dolar AS. Penurunan rupiah ini sudah berlangsung sejak pekan lalu.
Kurs tengah Bank Indonesia pada hari Senin (29/9) mencatat
mata uang rupiah bergerak melemah menjadi Rp12.120 dibandingkan posisi
sebelumnya di posisi Rp12.007 per dolar AS.
Sejauh ini, faktor eksternal menjadi penyebab utama
menurunnya rupiah terhadap dolar AS. Produk
domestik bruto (PDB) Amerika pada
kuartal kedua naik 4,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan PDB AS
itu ditopang oleh kinerja ekspor dan investasi bisnis yang menjadi sinyal yang
baik bagi perkonomian AS beberapa bulan
ke depan. Situasi tersebut akan mendorong
the Fed untuk menaikan suku bunga.
Ketegangan geopolitik kembali muncul di Timur Tengah dan
Rusia sehingga instrumen mata uang safe haven seperti dolar AS kembali
diuntungkan. Serangan udara AS terhadap kelompok ISIS
dan rencana Rusia untuk membuat peraturan yang mengizinkan penyitaan aset
asing, memicu pelepasan aset-aset di pasar keuangan berisiko.
Faktor dalam negeri juga berpengaruh terhadap rupiah. Saat
ini investor masih menunggu rencana kebijakan pemerintah ke depan, termasuk
kebijakan terkait dengan subsidi energi.
Bagaimanapun pelemahan rupiah ini perlu dipantau secara
seksama. Seperti dikatakan
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan
Firmanzah, Jika Bank Sentral Amerika diperkirakan
akan menaikkan suku bunga acuan. Ujungnya, bank sentral negara lain termasuk
Bank Indonesia
juga akan menaikkan sukubunga acuan untuk mencegah derasnya aliran modal keluar.
Kalau BI ikut menaikkan suku bunga acuan, maka dapat
dipastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan setinggi seperti asumsi makro dalam
APBN 2015 yang disepakati sebesar 5,8 persen.
Meningkatnya sukubunga acuan membuat masyarakat melakukan
penundaan konsumsi dan cenderung menempatkan dananya di bank. Sementara dari
sisi perbankan, terdapat pilihan kebijakan di antaranya adalah mengurangi Net
Interest Margin (NIM) atau menaikan suku bunga pinjaman, yang beresiko
meningkatnya kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL).
Perekonomian nasional juga akan dihadapkan pada perlambatan
ekonomi negara besar dunia seperti Tiongkok dan negara-negara Eropa. Sementara
itu, trend pelemahan harga komoditas dunia serta instabilitas politik dan
keamanan sejumlah kawasan juga akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia.
Segala tantangan ini tidak boleh diremehkan. Semua pihak
harus meningkatkan koordinasi, seperti pemerintah dalam hal ini kementerian
ekonomi, Bank Indonesia ,
pengusaha dan pihak terkait lain untuk mencari solusi agar nilai rupiah tetap
terjaga pada kurs yang tepat. Jangan sampai para spekulan memainkan aksinya
akibat kelengahan kita, dan situasi akan berisiko memburuk. (dimuat di Jurnas
30 September 2014 halaman 2)