Kalangan menengah tega memakan subsidi rakyat miskin |
Tiap kali menjelang kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM), tiba-tiba bermunculan jargon-jargon pembelaan
terhadap rakyat miskin. Para elit politik yang
mendukung pengurangan subsidi ataupun yang menolak mengcungkan diri sebagai pembela
orang bawah.
Faktanya, orang miskin
adalah bukan pengguna utama BBM. Tengoklah kembali hasil Sensus Nasional 2011.
Sebanyak 60 persen rumah tangga Indonesia
menggunakan premium atau solar yang disubsidi pemerintah. Dari 60 persen rumah tangga yang memiliki kendaraan, hanya
31,7 persen yang dimiliki rumah tangga golongan bawah.
Percaya
atau tidak, sekitar 93 persen pengguna BBM itu adalah kalangan atas, hanya 7
persen subsidi dinikmati keluarga miskin. Tengok
data Kementerian ESDM yang menunjukan kebanyakan bensin dan solar dinikmati
orang yang memiliki kendaraan. Pemilik mobil
53 persen, sedangkan motor 47 persen. Kalau pemilik mobil hampir pasti
orang menangah ke atas, sedangkan motor bisa saja dimiliki orang kaya atau
kelas bawah.
Data Kementerian Keuangan 2012
menyebutkan sebanyak 25 persen rumah
tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77 persen subsidi BBM. Sebaliknya 25
persen rumah tangga berpenghasilan terendah menikmati 15 persen subsidi BBM
Jika melihat angka seperti
itu, siapa yang akan tersengat jika harga premium dan solar naik? Jelas
kalangan menengah yang akan terkena dampaknya paling terasa. Mereka akan
membeli premium atau solar lebih mahal dari biasanya.
Dampak ikutannya, biaya
jemputan anak sekolah naik, baik yang
naik ojek atau angkutan antar jemput. Biaya sekolah, khususnya yang swasta juga
akan menaikan sumbangan renovasi sekolah, seragam, buku dan seterusnya.
Rasa keadilan jadi tercabik-cabik melihat kenyataan banyak mobil mewah tetap membeli premium. Pemilik mobil kinclong seharga di atas Rp500 juta tidak malu antre bersama mikrolet lusuh, bus metromini karatan di SPBU. Spanduk bertuliskan Premium Hanya Untuk Golongan Tidak Mampu yang tersebar di banyak SPBU tidak menyentuh hati mereka sama sekali.
Kalangan menengah merupakan golongan yang rasional. Mereka bisa menghitung betapa besarnya diskon premium yang mereka terima. Jika harus membeli Pertamax, dia harus merogoh sekitar Rp9.000 untuk satu liter. Bayangkan, premium hanya Rp4.500 per liter, sehingga dia bisa hemat Rp4.500 per liter atau diskon 50 persen.
Kalangan menengah yang juga jago shopping ini, biasa mengejar diskon di toko-toko untuk baju, handphone, tas, sepatu, dan seterusnya. Diskon 20 persen saja sudah cukup menggugah nafsu belanja mereka. Jadi mengharapkan kalangan menengah untuk berbaik hati membeli Pertamax adalah sangat sulit, tidak rasional.
Di satu sisi, kalangan menengah yang boros BBM itu semakin banyak jumlahnya. McKinsey Global Institute memperkirakan kelas menengah Indonesia bakal mencapai 135 juta pada 2030 dari angka saat ini sekitar 50 juta orang.
Lembaga ini menyebut kelas menengah sebagai consuming class, yakni individu yang berpendapatan minimum US$3.600 per tahun atau sekitar Rp34,2 juta setara Rp2,9 juta per bulan.
Boston Consulting Group (BCG) memproyeksikan, jumlah konsumen kelas menengah di
Pada 2020, Euromonitor International juga yakin kelas menengah di
Selain soal pendapatan yang bertambah, kalangan menengah juga memiliki
Tapi perlu diingat, kalangan menengah ini hidup bersama orang miskin. Meskipun angka kemiskinan di Indonesua terus menurun, jumlahnya masih banyak. Pada September 2012, jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen).
Jadi, relakanlah subsidi yang dinikmati orang kaya itu untuk kemudian dialihkan kepada si miskin. Penghematan subsidi itu akan dibangun sekolah, jalan, perbaikan angkutan umum dan sarana lain yang bisa dinikati bersama. Tak perlu manja lagi, toh?