|
Petani di tengah sawah (rihad) |
Sejak kecil, para guru dan orang tua kita menggambarkan Indonesia
sebagai negara agraris. Sebutan itu cocok dengan kenyataan Tanah Air termasuk
wilayah tersubur di dunia. Sebagian besar masyarakat kita juga berprofesi
sebagai petani. Kedengarannya membanggakan, kita memiliki tanah ijo royo-royo.
Tapi sangat jarang anak-anak bercita-cita menjadi petani. Orang
tua juga tak banyak yang menginginkan anak-anaknya menjadi petani. Bahkan
mereka yang kemudian lulus menjadi sarjana pertanian, kebanyakan tidak menjadi
petani.
Wajar jika secara perlahan, jumlah petani di Indonesia terus
menurun selama sepuluh tahun terakhir. Sensus Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik
mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian mencapai 26,14 juta. Jumlah ini
turun 5,1 juta atau 16,32 persen dibanding 31,23 juta rumah tangga pada Sensus
Pertanian 2003.
Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian
keenam yang diselenggarakan BPS setiap 10 tahun sekali, sejak tahun 1963.
Dari tujuh subsektor pertanian yang masuk sensus, penurunan
jumlah rumah tangga pertanian terbesar terjadi pada holtikultura yang mencapai
37,4 persen dari 10,91 juta pada 2003
menjadi hanya 10,60 juta rumah tangga pada 2013.
Subsektor peternakan merosot 30,26 persen dari 18,59 juta
rumah tangga menjadi 12,97 juta rumah tangga pada 2013. Subsektor perikanan turun 20,66 persen dari
2,49 juta rumah tangga menjadi 1,97 rumah tangga.
Penurunan terkecil terjadi pada subsektor kehutanan sebesar
0,66 persen dari 6,83 juta tahun 2003 menjadi 6,78 juta pada 2013.
Pada subsektor tanaman pangan turun 0,98 juta rumah tangga,
dari 18,71 juta pada 2003 menjadi 17,73 juta. Subsektor perkebunan turun 1,35
juta rumah tangga dari 14,13 juta pada sensus 2003, menjadi 12,77 juta.
Subsektor peternakan turun 5,63 juta rumah tangga dari 18,60
juta pada 2003 menjadi 12,97 juta pada 2013.
Subsektor perikanan turun 0,51 juta menjadi 1,98 juta rumah
tangga dari sensus pada 2003 sebanyak 2,49 juta. Teakhir, subsektor jasa
pertanian turun dari 1,85 juta rumah tangga menjadi 1,08 juta rumah tangga.
Hanya subsektor budidaya ikan yang meningkat, dari 0,99 juta
rumah tangga pada 2003 menjadi 1,19 juta pada 2013.
Berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian itu disebabkan
turunnya jumlah petani gurem, yaitu petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5
hektare. Menurut BPS, jumlah petani gurem pada 2013 sebesar 14,25 juta rumah
tangga, turun 4,22 juta dibandingkan Sensus 2003 sebanyak 19,02 juta.
Penyebab perpindahan profesi petani antara lain karena lahan
telah beralih fungsi seperti dijual oleh pemilik, disewakan, atau beralih
profesi. Mereka lebih tertarik bekerja di sektor industri, perdagangan,
makanan, dan jasa.
Secara keseluruhan petani gurem terbanyak berada di Pulau Jawa
sebanyak 10,18 juta rumah tangga, disusul Sumatera 1,81 juta rumah tangga,
Pulau Bali dan Nusa Tenggara 0,9 juta. Sedangkan
jumlah petani gurem terkecil berada di Pulau Kalimantan
sebanyak 0,28 juta rumah tangga.
Meskipun jumlah petani menurun, tapi mereka masih mayoritas
dibandingkan profesi lain di Indonesia. Pada 2013, jumlah pekerja di bidang
prtanian, prkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan sebanyak 39, 9 juta
jiawa. Angka ini dihitung dari pekerja di atas 15 tahun. Sebagai perbandingan,
mereka yang bekerja di sektor industri hanya 14,8 juta orang sedangkan jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan
17,5 juta.
Tapi kebanyakan yang bertahan jadi petani mulai “uzur”. BPS mencatat
dari 26,14 juta rumah tangga petani yang ada di Indonesia 32,76 persen berusia di
atas 54 tahun atau 8,56 juta orang.
Sedangkan 7,32 juta
petani berusia 45 sampai 54 tahun atau sebesar 28,03 persen. Hanya 3,12 juta petani atau 11,98 persen berusia 25 tahun
sampai 34 tahun. Usia 35 sampai 44 tahun jumlah petani yakni 6,88 juta orang
atau 26,34 persen. Untuk usia 15 sampai 24 tahun ada 229,94 ribu.
Jika hanya sedikit anak muda yang mau jadi petani, apa yang
salah? Kenyataannya sektor pertanian semakin hari semakin kalah bersaing.
Banyak orang menjual tanah pertanian untuk tujuan lain seperti perumahan atau
industri. Peralihan lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720 hektare per tahun.
Alih fungsi lahan kering pertanian ke nonpertanian sebesar 9.152 hektare per tahun.
Hasil sensus 1983, menyebutkan petani Indonesia rata-rata memiliki lahan
0,98 hektare. Pada sensus 2003, petani Indonesia tinggal memiliki 0,7
hektare. Di Pulau Jawa bahkan hanya memiliki 0,3 hektare.
Memang sulit dipungkiri, pada umumnya semakin maju sebuah
negara, sektor pertanian cenderung ditinggalkan. Tapi, pertanian tidak hanya
persoalan pekerjaan, melainkan soal ketahanan pangan yang sangat strategis bagi
Indonesia
yang berpenduduk 240 juta jiwa. Jika pertanian tidak kuat, maka Indonesia bisa
tergantung impor pangan. Situasi ini membuat Indonesia sangat rentan dari sisi
ketahanan pangan.
Bagaimanapun Indonesia
memiliki lahan yang relatif sempit. Di Indonesia, rasio luas lahan pertanian
per kapita hanya 560 meter per segi. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai 5.600 meter
persegi per kapita atau selisih 10 kali lipat. Artinya, jika per kepala
keluarga di Thailand
memiliki 3 hektare lahan pertanian, maka di Indonesia hanya 0,3 hektare.
Indonesia
pada hakekatnya tidak bisa terus menerus mengandalkan Jawa yang semakin sempit.
Pembukaan lahan di luar Jawa menjadi pilihan yang tepat tetapi harus diikuti
dengan kebijakan pendukung yang memadai. Kegagalan pembukaan lahan 1 juta
haktare di jaman Suharto harus diambil hikmahnya.
Industri pengolahan produk pertanian harus terus dilakukan. Indonesia
meemiliki kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah pertanian seperti dilakukan
beberapa pengusaha. Itu terlihat dari industri pengolahan dan pengemasan kacang
tanah Indonesia
yang sudah berhasil membawa nama bangsa. Tapi masih banyak hasil pertanian yang
belum diolah. Inilah tantangan pengusaha dan sarjana pertanian untuk
meningkatkan nilai tambah semaksimal mungkin.
Secara keseluruhan, kita tidak bisa lagi mengembangkan
pertanian yang tradisional dengan mengandalkan kebaikan alam. Kita harus
mengolah dengan teknologi hasil pertanian menjadi produk unggulan yang bisa
masuk ke pasar internasional.
Pada prinsipnya, nilai tambah yang tinggi, ini terlihat dari
upah di sektor ini, akan bisa merangsang anak muda untuk terjun ke pertanian.
Jika pendapatan mereka tidak memadai dibandingkan dengan keringat yang keluar,
mereka tak akan mau menjadi petani. Mudahnya, buatlah sektor pertanian bagaikan
gula, sehingga semut-semut akan berdatangan. Para
pemuda akan bangga menjadi petani yang modern dan memiliki nilai tambah tinggi.