Masyarakat kita cenderung boros ya... |
Pada jaman dulu, ketika
seseorang bertemu kerabatnya, pertanyaan yang paling lazim adalah “sudah makan
belum?”. Maklum, ketika itu masyarakat Indonesia masih berkutat dengan
kebutuhan pangan.
Kini, ketika bertemu dengan
saudara atau rekan kerja, yang ditanyakan adalah berapa anak, rumah dimana,
atau mungkin jumlah mobil dan kepemilikan saham. Faktanya, kemajuan ekonomi
membawa pola hidup yang lebih menuntut. Buntutnya, gaya hidup modern cenderung lebih boros.
Kalangan menengah Indonesia
makin banyak, mereka memiliki gaya hidup yang tak mau serba pas-pasan.
Indonesia saat ini tercatat menduduki peringkat 16 dunia dari sisi total PDB.
Beberapa lembaga riset internasional, misalnya McKinsey Global Institute
meramalkan, Indonesia akan menduduki peringkat ke-6 atau ke-7 dunia pada 2030.
Jumlah kalangan menengah akan mencapai di atas 135 juta dibandingkan saat ini sekitar 50 juta orang.
Kaum yang berduit mengubah
acara makan dari sekadar mengisi perut menjadi petualangan selera. Mereka berganti-ganti
restoran untuk menjajal makanan dan menu. Kadang mereka mengabaikan porsi
makanan, wajar jika masalah kegemukan pun menjadi masalah baru di Indonesia.
Prevalensi gemuk pada anak Indonesia
meningkat dari 12,2 persen (2007) menjadi 14 persen (2010). Padahal, anak yang gemuk memiliki risiko untuk
tetap gemuk hingga dewasa, yang pada
akhirnya akan meningkatkan risiko terkena penyakit kronis seperti diabetes dan
jantung.
Tak hanya di Indonesia,
masyarakat dunia yang lebih maju sudah boros duluan. Berdasarkan data FAO (Food
and Agriculture Organization), setiap tahun 1,3 miliar ton makanan di dunia
terbuang atau hilang. Di sisi lain, satu
dari tujuh orang di dunia tidur dalam
keadaan lapar. Lebih dari 20.000 anak-anak di bawah 5 tahun meninggal dalam perut
kosong.
Salah satu perilaku boros
lainnya adalah kebiasaan naik kendaraan pribadi. Mengantar anak, belanja ke
pasar, pergi ke rumah tetangga, yang jaraknya mungkin hanya beberapa meter,
mereka naik motor. Pantas jika penggunaan bahan bakar minyak terus (BBM) melonjak.
Asal tahu saja, impor BBM Indonesia per harinya sekitar 700.000-800.000
barel per hari. Ini akibat kebutuhan BBM orang Indonesia mencapai 1,4 juta
kiloliter (KL) per hari. Konsumsi BBM
yang tinggi menyebabkan subsidi pun membengkak. Pada 2012, realisasi subsidi
BBM Rp211,9 triliun, membengkak jauh di atas anggaran awal Rp137,4 triliun.
Banyaknya belanja jelas akan
menciptakan pertumbuhan. Indonesia dengan jumlah penduduk 240 juta, jika
semuanya suka belanja, tentu akan menggerakan ekonomi.
Tapi konsumsi boros akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari.
Dampak makanan sisa ini
tidak hanya dari sisi finansial, namun juga memberikan dampak secara
lingkungan. Makanan yang terbuang ini berarti juga membuat bahan-bahan kimia
dari proses pemupukan dan pestisida, emsisi gas buang transportasi makanan itu
juga terbuang.
Makanan-makanan yang
terbuang ini justru akan menambah gas methana yang seharusnya tidak perlu ada.
Zat ini menurut catatan PBB memiliki daya rusak 23 kali dari CO2 dalam hal
mengakibatkan efek rumah kaca.
Belum lagi dampak dari pemborosan BBM yang tidak terkendali. Selain lingkungan hidup yang kotor, kecenderungan impor BBM yang terus membesar bisa menimbulkan keseimbangan ekonomi secara keseluruhan semakin terganggu.
Konsumsi yang besar apalagi
dipenuhi dengan impor, akan menjadikan Indonesia tidak aman, termasuk pangan.
Kcenderungan makan berbahan dasar pangan impor makin besar.
Volume impor gandum
Indonesia pada 2011 mencapai 5,4 juta metric ton atau senilai US$2,1 miliar.
Pada 2012, volume impor gandum Indonesia naik menjadi 6,2 juta metric ton atau
senilai US$2,2 miliar.
Pada periode Januari-April
2013, volume impor gandum Indonesia mencapai 2 juta metric ton, naik
dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu 1,9 juta metric ton. Nilai
impor gandum Indonesia pada Januari-April 2013 mencapai US$771,4 juta.
Indonesia mengimpor gandum paling banyak dari Australia (70,7 persen), disusul Kanada (14,9 persen), dan Amerika Serikat (11 persen). Indonesia juga mengimpor gandum dari India, Rusia, Pakistan, dan Turki.
Indonesia mengimpor gandum paling banyak dari Australia (70,7 persen), disusul Kanada (14,9 persen), dan Amerika Serikat (11 persen). Indonesia juga mengimpor gandum dari India, Rusia, Pakistan, dan Turki.
Belum lagi impor kedelai
yang juga menjadi bahan makanan penting bagi orang Indonesia.
Diperlukan perubahan gaya
hidup yang berbasis pada kekayaan lokal, misalnya dengan mengembangkan makanan
hasil bumi Indonesia. Makanan olahan yang harus dikembangkan semestinya adalah
produk berbasi pertanian Indonesia seperti umbi-umbian yang banyak ditemui di
lading kita. Kreatifitas pengolahan beras juga bisa mengurangi kecenderungan
untuk makan mie atau roti.
Kearifan lokal Indonesia
sebenarnya sudah membekali kita dengan berbagai teknik masak yang dapat
memperpanjang daya tahan makanan. Rendang, misalnya, dapat bertahan
berhari-hari, bahkan ada yang sampai dalam hitungan bulan. Teknik pengeringan
ikan dengan cara diasap atau diasinkan lalu dijemur juga menjadi cara yang
efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar