Macet.... |
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia
(Gaikindo) Sudirman Maman Rusdi menyatakan penjualan mobil tahun 2013 mencapai 1
juta unit. Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil selama periode Januari
hingga September tahun ini mencapai 816.322 unit. Angka tersebut mendekati
total penjualan tahun lalu sebesar 894.164 unit. Dengan demikian, target
penjualan 1 juta unit tahun ini diyakini akan tercapai.
Selama periode sembilan bulan tahun ini, penjualan tertinggi diraih oleh Toyota sebanyak 298.646 unit, disusul Daihatsu 120.664 unit, Mitsubishi 109.461 unit, dan Suzuki 87.882 unit.
Target Kementerian Perindustrian sekitar 950.000 unit
seperti disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Unggulan Berbasis
Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Budi Darmadi. Baru
tahun depan diperkiarakan 1,1 juta mobil bisa terjual di Indonesia .
Melonjaknya penjualan mobil terkait dengan semakin banyaknya
penduduk kelas menengah.
McKinsey Global
Institute memperkirakan kelas konsumen Indonesia 45 juta orang pada 2010 dan
akan tumbuh menjadi 135 juta orang di tahun 2030.
McKinsey Global Institute mengkategorikan kelas konsumen
sebagai penduduk dengan pendapatan per kapita lebih besar atau sama dengan
US$3.600 per tahun atau sekitar Rp30 juta.
Kemudahan dalam kredit juga membuat semakin banyak penduduk
bisa membeli kendaraan. Para pembeli yang
relative taat melunasi utang itu telah menumbuhkan indsutri leasing di
Indonesia.
Pada survey yang dilansir situs online Google dan Netpop Agustus
lalu menyebutkan ada lima alasan masyarakat Indonesia
membeli mobil baru. Alasan terbesar, 48 persen, adalah mengakomodasi jumlah
keluarga yang bertambah besar. Alasan
lain yang cukup signifikan yakni menggantikan mobil tua (44 persen),
mendapatkan mobil yang lebih irit (43 persen), mendapatkan fitur terbaru (41
persen) dan memperoleh jenis mobil lain, misalnya dari sedan ke minibus (35
persen).
Dalam kehidupan sehari-hari, jumlah keluarga yang semakin
banyak menuntut alat transportasi yang efisien. Pada kondisi transportasi umum
yang belum memadai saat ini, kendaraan pribadi terasa lebih nyaman dan hemat.
Bukan hanya kendaraan roda empat, pembelian kendaraan roda dua juga meningkat
pesat.
Kita tengok lagi pertumbuhan jumlah kendaraan di Indoesia.
Berdasar data BPS, tahun 2000, jumlah kendaraan roda empat hanya 3.038.913 unit, tapi tahun 2011 sudah mencapai 9.548.866 mobil. Itu artinya naik tiga kali lipat dalam waktu
11 tahun.
Bagaimana dengan sepeda motor? Pada 2000, jumlahnya baru
13.563.017 unit, tapi tahun 2011 sudah mencapai
68.839.341 motor atau naik lima kali lipat.
Jika ditambah jumlah truk dan bus yang juga naik berlipat,
maka ruas jalan yang ada semakin tarasa sempit.
Pada 2000 panjang jalan hanya 348.083 kilometer, pada 2011 baru 496.607
kilometer, hanya tambah panjang 1,4 kali.
Berdasar data 2011, Indonesia masih ketinggalan
dibandingkan dengan negara ASEAN yang lain. Di Indonesia, panjang jalan hanya
160 km/1 juta penduduk, di Thailand atau Korea mencapai 800 km/1 juta penduduk.
Bahkan Jepang 6.000 km/1 juta penduduk.
Dengan kondisi pertumbuhan jalan lebih lambat dibandingkan
kenaikan jumlah kendaraan, maka pantas
program mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) menjadi
kontroversi.
Sebagian orang menentang kehadilan mobil murah ini. Di satu sisi, harga mobil murah di bawah
Rp100 juta akan membuat permintaan kendaraan melonjak. Di sisi lain,
pertumbuhan jalan tidak sebanding.
Tetapi sebagian orang lainnya memandang kehadiran kendaraan
hemat energi ini akan memberi keuntungan tersendiri bagi lingkungan dan
mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Sebagai catatan, ada produsen
kendaraan yang mengklaim konsumsi BBM irit, hingga 20 km/liter.
Seperti disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, ada
tiga hal yang ingin dicapai oleh pemerintah dari mobil murah ini. Pertama,
konsumsi BBM bisa dihemat, jika masyarakat cenderung menggunakan kendaraan
hemat energi.
Kedua, pemerintah ingin mengurangi 26 persen efek gas rumah kaca pada 2020 dengan memperkenalkan kendaraan “hijau” tersebut. Ketiga, mobil kecil ini akan menjadi bibit kendaraan nasional.
Kedua, pemerintah ingin mengurangi 26 persen efek gas rumah kaca pada 2020 dengan memperkenalkan kendaraan “hijau” tersebut. Ketiga, mobil kecil ini akan menjadi bibit kendaraan nasional.
Apakah tujuan itu akan tercapai? Sesungguhnya ada beberapa
syarat agar program mobil hijau ini bisa sukses. Pertama, pembangunan
infrastruktur jalan harus terus dilakukan. Pada akhirnya, kemacetan akan
menambah konsumsi BBM. Dinas Perhubungan DKI pada 2010 menghitung potensi
kerugian Rp45 triliun akibat kehilangan waktu sebagai buntut kemacetan.
Sedangkan pemborosan BBM mencapai Rp28 triliun lebih per tahun.
Kedua, kebijakan pemerintah terkait penggunaan bahan bakar terbarukan harus dikembangkan. Secara bertahap penggunaan bahan bakar gas dan biofuel harus digalakkan lagi. Infrastruktur seperti stasiun bahan bakar gas yang sudah masuk program harus dilaksanakan sesuai jadwal.
Ketiga, program pembuatan mobil nasional sudah dimulai sejak
lama, tetapi menemui banyak hambatan. Diperlukan pemberian insentif untuk
penelitian dan pengembangan terkait program mobil nasional. Tanpa kemudahan,
program mobil nasional akan kalah bersaing dengan perusahaan otomotif yang
sudah mapan.
Keempat, perusahaan pemasok industri otomotif seperti bahan baku besi baja, aluminium, karet dan plastik perlu terus
dikembangkan di Indonesia .
Mereka juga perlu mendapat perhatian pemerintah khususnya dalam membangun
industri otomotif nasional yang sebanyak mungkin menggunakan komponen lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar