Kamis, 23 Februari 2017

Kesenjangan Ekonomi Melebar, Perbanyak Kebijakan Pro Rakyat Miskin


Penjual kerupuk kekeliling berjuang melepas kemiskinan

Kesenjangan ekonomi di Indonesia makin lebar. Sebagai gambaran, harta milik empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Data itu diungkapkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Oxfam, mengacu ke Data Kekayaan Global (Global Wealth Databook).

Dalam pemaparan di Jakarta, hari Kamis (23/02),  Oxfam  menyatakan pemerintah  harus  mengurangi ketimpangan ekonomi di Indonesia, yang menempati peringkat enam dalam daftar negara dengan ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia.

Laporan Oxfam dan INFID, berjudul "Menuju Indonesia yang lebih setara", menggunakan koefisien Gini (Gini Ratio) sebagai salah satu indikator yang menggambarkan tingkat ketimpangan di Indonesia. Koefisien Gini diukur berdasarkan konsumsi keluarga akan barang, jasa, dan non-jasa. Semakin besar koefisien Gini, maka semakin lebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Koefisien Gini menunjukkan kecenderungan meningkatnya ketimpangan selama 20 tahun terakhir, dengan ketimpangan di perkotaan secara konsisten lebih tinggi daripada pedesaan. Ketimpangan juga terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia di antara tahun 2008 dan 2013.

Meskipun ada tanda perbaikan akhir-akhir ini, dengan penurunan ke 0,39 antara Maret 2015 dan Maret 2016 setelah stagnan pada 0,41 selama lima tahun terakhir, hal ini belum menunjukkan tren jangka panjang, kata laporan itu.

Seperti dikutip BBC, Budi Kuncoro, country director Oxfam di Indonesia, mengatakan ketimpangan bukan semata-mata soal kekayaan, melainkan juga kesempatan atau akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Kedua hal itu menurutnya saling berkaitan.

Budi menambahkan, ada pula isu kerentanan, "Sebagian besar masyarakat Indonesia itu tidak miskin; tapi jika terjadi sesuatu, misalnya bencana alam, krisis ekonomi, mereka akan drop; warga yang near-poverty (nyaris miskin) akan jatuh ke jurang kemiskinan."

Oxfam dan INFID memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Indonesia. Antara lain, kebijakan pajak yang berpihak pada pengentasan kemiskinan, termasuk memastikan orang-orang terkaya membayar bagian mereka secara wajar.

Menurut data Oxfam, rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia menempati peringkat kedua terendah di Asia Tenggara. Jika potensi penerimaan pajak di Indonesia yang, menurut proyeksi IMF, sebesar 21,5% dapat dipenuhi, anggaran kesehatan dapat meningkat sembilan kali lipat.


Apa Yang Dilakukan Jokowi?

Pemerintah akan mengeluarkan kebijakan terkait dengan pemerataan ekonomi. Kebijakan ini sebagai salah satu langkah pemerintah untuk menurunkan kesenjangan ekonomi dan gini rasio di Indonesia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, pemerintah terus mengejar target penurunan angka ketimpangan di Indonesia. "Gini rasio kita sebelumnya 0,41 tapi Alhamdulillah tahun kemarin turun jadi 0,39. Sedikit-sedikit akan terus kita turunkan angka kesenjangan kita," ujar Jokowi kepada wartawan di Sentul International Convention Center (SICC), Sentul, Jawa Barat, Rabu (22/2).

Dikutip dari liliputan6, dengan adanya kebijakan pemerataan ekonomi ini, lanjut Jokowi, diharapkan kesenjangan ekonomi yang yang dinilai begitu lebar bisa berkurang secara signifikan.

"Di bidang pemerataan, sebentar lagi akan kita keluarkan yang namanya kebijakan pemerataan ekonomi yang menyangkut tiga hal. Karena rasio kesenjangan kita sangat lebar sekali, kesenjangan antar wilayah, kesenjangan antara kaya miskin," ujar dia.



Selasa, 12 Mei 2015

Hari Konsumen: Jangan Mau Dijajah Asing



Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2015 diperingati di lapangan Monas, Selasa (12/5). Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel membagi-bagi gerobak bakso gratis kepada para pedagang bakso.

Tapi saya mau melihat dari sisi lain. Semoga Pak Menteri membaca tulisan ini.

Saya melihat sebuah gejala yang sebenarnya miris buat iklim perdagangan kita.

Saya beberapa kali berkunjung ke sebuah supermarket yang menjual peralatan rumah tangga di Bekasi serta Jakarta, dan ternyata harganya murah. Ini menyenangkan dari sisi konsumen.

Tapi apa yang saya lihat sangat memiriskan hati: hampir seluruh produknya buatan China.

Dengan kata lain, supermarket ini menjadi kepanjangan China di Indonesia dalam jalur distribusi. Dengan jumlah cabang yang begitu banyak, maka sangat deras dan lancar produk buatan China mengaliri Indonesia.

Kadang barang sederhana, seperti tempat lampu minyak  dari bambu, itu pun buatan China. Barang kerajinan yang orang Indonesia bisa bikin dengan mudah juga ternyata didatangkan dari China.

Sebagai konsekuensi perdagangan bebas China-Indonesia, kondisi itu wajar. Tapi apakah ada timbal baliknya buat produk Indonesia yang dijual di China? Apakah Indonesia sudah memiliki rantai distribusi yang menjual hampir 100 persen produk Indonesia di daratan China? Misalnya ada supermarket yang berjualan produk Indonesia seantero China. Kalau tidak ada, Indonesia akan "dijajah" produk China.

China terus mampu ekspor hingga surplus melonjak. Sebuah berita BBC, menyebutkan eskspor naik 48,3% dalam setahun (per Februari 2015) menjadi US$169,2 miliar, dan impor turun seperlimanya menjadi US$108,6 miliar.

Saya yakin, salah satunya ladang penjualan produk China adalah  Indonesia.

Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik pada Maret 2015 menyatakan impor non migas terbesar Indonesia pada Februari 2015 berasal dari China dengan nilai US$ 2,51 miliar. Demikian dikemukakan Suryamin, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin (16/3/2015).

Tapi, ekspor non migas Indonesia pada Februari 2015 yang terbesar justru  ke Amerika Serikat sebesar US$ 1,19 miliar.

Setelah AS, adalah ke Jepang (US$ 1,13 miliar), India (US$ 0,96 miliar). Kontribusi 3 negara ini terhadap ekspor non migas pada Februari mencapai 31,53%.

Ya begitulah, ironi sekali. Padahal ekonomi kerakyatan Indonesia harus dibangun dengan kekuatan diri sendiri. Kalau kita gemar memakai produk China, buatan Indonesia siapa yang pakai.

Pada akhirnya harus ada langkah nyata agar produk Indonesia disukai konsumen sendiri. Pemerintah harus dukung produsen Indonesia, dari ketersediaan bahan baku, energi, keuangan, teknologi, dan pasar. Jangan dibiarkan produsen Indonesia bertempur sendiri. Itulah gunan Menteri, atau pemerintah yang berdiri membela rakyat.

Perdagangan bebas bukan berarti Indonesia tidak bisa menghambat produk China. Bukan untuk memblok produk China tapi mengatur agar ada timbal balik yang setara.

Ketentuan perdagangan bebas menbutkan tarif tak bisa menjadi penghambat, tapi syarat non tarif seperti pengaturan distribusi dan kualifikasi produk bisa diterapkan. Cara itu juga sering dipakai negara lain terhadap produk Indonesia.

Di sini masalahnya adalah  pada  ada atau tidak pemihakan serius terhadap produk dalam negeri sendiri. Sudah selayaknya, pemimpin negara harus berpihak kepada kepentingan nasional. (opini pribadi).


Senin, 29 September 2014

Waspadalah, Rupiah Jangan Sampai Anjlok Terus


Rupiah terus melemah (foto: saibumi.com)




Nilai tukar rupiah dalam transaksi antarbank di Jakarta, Senin sore (29/9) melemah 107 poin menjadi Rp12.155 dibandingkan posisi sebelumnya Rp12.048 per dolar AS. Penurunan rupiah ini sudah berlangsung sejak pekan lalu.

Kurs tengah Bank Indonesia pada hari Senin (29/9) mencatat mata uang rupiah bergerak melemah menjadi Rp12.120 dibandingkan posisi sebelumnya di posisi Rp12.007 per dolar AS.

Sejauh ini, faktor eksternal menjadi penyebab utama menurunnya rupiah terhadap dolar AS.  Produk domestik bruto (PDB) Amerika  pada kuartal kedua naik 4,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan PDB AS itu ditopang oleh kinerja ekspor dan investasi bisnis yang menjadi sinyal yang baik bagi perkonomian AS  beberapa bulan ke depan. Situasi tersebut  akan mendorong the Fed untuk menaikan suku bunga.

Ketegangan geopolitik kembali muncul di Timur Tengah dan Rusia sehingga instrumen mata uang safe haven seperti dolar AS kembali diuntungkan. Serangan udara AS terhadap kelompok ISIS dan rencana Rusia untuk membuat peraturan yang mengizinkan penyitaan aset asing, memicu pelepasan aset-aset di pasar keuangan berisiko.

Faktor dalam negeri juga berpengaruh terhadap rupiah. Saat ini investor masih menunggu rencana kebijakan pemerintah ke depan, termasuk kebijakan terkait dengan subsidi energi.

Bagaimanapun pelemahan rupiah ini perlu dipantau secara seksama. Seperti dikatakan
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah, Jika  Bank Sentral Amerika diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan. Ujungnya, bank sentral negara lain termasuk Bank Indonesia juga akan menaikkan sukubunga acuan untuk mencegah derasnya aliran modal keluar.

Kalau BI ikut menaikkan suku bunga acuan, maka dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan setinggi seperti asumsi makro dalam APBN 2015 yang disepakati sebesar 5,8 persen.

Meningkatnya sukubunga acuan membuat masyarakat melakukan penundaan konsumsi dan cenderung menempatkan dananya di bank. Sementara dari sisi perbankan, terdapat pilihan kebijakan di antaranya adalah mengurangi Net Interest Margin (NIM) atau menaikan suku bunga pinjaman, yang beresiko meningkatnya kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL).

Perekonomian nasional juga akan dihadapkan pada perlambatan ekonomi negara besar dunia seperti Tiongkok dan negara-negara Eropa. Sementara itu, trend pelemahan harga komoditas dunia serta instabilitas politik dan keamanan sejumlah kawasan juga akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia.


Segala tantangan ini tidak boleh diremehkan. Semua pihak harus meningkatkan koordinasi, seperti pemerintah dalam hal ini kementerian ekonomi, Bank Indonesia, pengusaha dan pihak terkait lain untuk mencari solusi agar nilai rupiah tetap terjaga pada kurs yang tepat. Jangan sampai para spekulan memainkan aksinya akibat kelengahan kita, dan situasi akan berisiko memburuk. (dimuat di Jurnas 30 September 2014 halaman 2)

Rabu, 12 Maret 2014

Cara Mengangkat Martabat Petani

Petani di tengah sawah (rihad)




Sejak kecil, para guru dan orang tua kita menggambarkan Indonesia sebagai negara agraris. Sebutan itu cocok dengan kenyataan Tanah Air termasuk wilayah tersubur di dunia. Sebagian besar masyarakat kita juga berprofesi sebagai petani. Kedengarannya membanggakan, kita memiliki tanah ijo royo-royo.

Tapi sangat jarang anak-anak bercita-cita menjadi petani. Orang tua juga tak banyak yang menginginkan anak-anaknya menjadi petani. Bahkan mereka yang kemudian lulus menjadi sarjana pertanian, kebanyakan tidak menjadi petani.

Wajar jika secara perlahan, jumlah petani di Indonesia terus menurun selama sepuluh tahun terakhir. Sensus Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian mencapai 26,14 juta. Jumlah ini turun 5,1 juta atau 16,32 persen dibanding 31,23 juta rumah tangga pada Sensus Pertanian 2003.

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan BPS setiap 10 tahun sekali, sejak tahun 1963.

Dari tujuh subsektor pertanian yang masuk sensus, penurunan jumlah rumah tangga pertanian terbesar terjadi pada holtikultura yang mencapai 37,4 persen dari 10,91 juta pada  2003 menjadi hanya 10,60 juta rumah tangga pada 2013.

Subsektor peternakan merosot 30,26 persen dari 18,59 juta rumah tangga menjadi 12,97 juta rumah tangga pada 2013.  Subsektor perikanan turun 20,66 persen dari 2,49 juta rumah tangga menjadi 1,97 rumah tangga.

Penurunan terkecil terjadi pada subsektor kehutanan sebesar 0,66 persen dari 6,83 juta tahun 2003 menjadi 6,78 juta pada 2013.

Pada subsektor tanaman pangan turun 0,98 juta rumah tangga, dari 18,71 juta pada 2003 menjadi 17,73 juta. Subsektor perkebunan turun 1,35 juta rumah tangga dari 14,13 juta pada sensus 2003, menjadi 12,77 juta.

Subsektor peternakan turun 5,63 juta rumah tangga dari 18,60 juta pada 2003 menjadi 12,97 juta pada 2013.

Subsektor perikanan turun 0,51 juta menjadi 1,98 juta rumah tangga dari sensus pada 2003 sebanyak 2,49 juta. Teakhir, subsektor jasa pertanian turun dari 1,85 juta rumah tangga menjadi 1,08 juta rumah tangga.

Hanya subsektor budidaya ikan yang meningkat, dari 0,99 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 1,19 juta pada 2013.

Berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian itu disebabkan turunnya jumlah petani gurem, yaitu petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare. Menurut BPS, jumlah petani gurem pada 2013 sebesar 14,25 juta rumah tangga, turun 4,22 juta dibandingkan Sensus 2003 sebanyak 19,02 juta.

Penyebab perpindahan profesi petani antara lain karena lahan telah beralih fungsi seperti dijual oleh pemilik, disewakan, atau beralih profesi. Mereka lebih tertarik bekerja di sektor industri, perdagangan, makanan, dan jasa.

Secara keseluruhan  petani gurem terbanyak berada di Pulau Jawa sebanyak 10,18 juta rumah tangga, disusul Sumatera 1,81 juta rumah tangga, Pulau Bali dan Nusa Tenggara 0,9 juta.  Sedangkan jumlah petani gurem terkecil berada di Pulau Kalimantan sebanyak 0,28 juta rumah tangga.

Meskipun jumlah petani menurun, tapi mereka masih mayoritas dibandingkan profesi lain di Indonesia. Pada 2013, jumlah pekerja di bidang prtanian, prkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan sebanyak 39, 9 juta jiawa. Angka ini dihitung dari pekerja di atas 15 tahun. Sebagai perbandingan, mereka yang bekerja di sektor industri hanya 14,8 juta orang sedangkan jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan  17,5 juta.

Tapi kebanyakan yang bertahan jadi petani mulai “uzur”. BPS mencatat dari 26,14 juta rumah tangga petani yang ada di Indonesia 32,76 persen berusia di atas 54 tahun atau  8,56 juta orang.

Sedangkan  7,32 juta petani berusia 45 sampai 54 tahun atau sebesar 28,03 persen.  Hanya 3,12 juta  petani atau 11,98 persen berusia 25 tahun sampai 34 tahun. Usia 35 sampai 44 tahun jumlah petani yakni 6,88 juta orang atau 26,34 persen. Untuk usia 15 sampai 24 tahun ada 229,94 ribu.

Jika hanya sedikit anak muda yang mau jadi petani, apa yang salah? Kenyataannya sektor pertanian semakin hari semakin kalah bersaing. Banyak orang menjual tanah pertanian untuk tujuan lain seperti perumahan atau industri. Peralihan lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720 hektare per tahun. Alih fungsi lahan kering pertanian ke nonpertanian sebesar 9.152 hektare  per tahun.

Hasil sensus 1983, menyebutkan  petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0,98 hektare. Pada sensus 2003, petani Indonesia tinggal memiliki 0,7 hektare. Di Pulau Jawa bahkan hanya memiliki 0,3 hektare.

Memang sulit dipungkiri, pada umumnya semakin maju sebuah negara, sektor pertanian cenderung ditinggalkan. Tapi, pertanian tidak hanya persoalan pekerjaan, melainkan soal ketahanan pangan yang sangat strategis bagi Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa. Jika pertanian tidak kuat, maka Indonesia bisa tergantung impor pangan. Situasi ini membuat Indonesia sangat rentan dari sisi ketahanan pangan.

Bagaimanapun Indonesia memiliki lahan yang relatif sempit. Di Indonesia, rasio luas lahan pertanian per kapita hanya 560 meter per segi. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai 5.600 meter persegi per kapita atau selisih 10 kali lipat. Artinya, jika per kepala keluarga di Thailand memiliki 3 hektare lahan pertanian, maka di Indonesia hanya 0,3 hektare. 

Indonesia pada hakekatnya tidak bisa terus menerus mengandalkan Jawa yang semakin sempit. Pembukaan lahan di luar Jawa menjadi pilihan yang tepat tetapi harus diikuti dengan kebijakan pendukung yang memadai. Kegagalan pembukaan lahan 1 juta haktare di jaman Suharto harus diambil hikmahnya.

Industri pengolahan produk pertanian harus terus dilakukan. Indonesia meemiliki kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah pertanian seperti dilakukan beberapa pengusaha. Itu terlihat dari industri pengolahan dan pengemasan kacang tanah Indonesia yang sudah berhasil membawa nama bangsa. Tapi masih banyak hasil pertanian yang belum diolah. Inilah tantangan pengusaha dan sarjana pertanian untuk meningkatkan nilai tambah semaksimal mungkin.

Secara keseluruhan, kita tidak bisa lagi mengembangkan pertanian yang tradisional dengan mengandalkan kebaikan alam. Kita harus mengolah dengan teknologi hasil pertanian menjadi produk unggulan yang bisa masuk ke pasar internasional.


Pada prinsipnya, nilai tambah yang tinggi, ini terlihat dari upah di sektor ini, akan bisa merangsang anak muda untuk terjun ke pertanian. Jika pendapatan mereka tidak memadai dibandingkan dengan keringat yang keluar, mereka tak akan mau menjadi petani. Mudahnya, buatlah sektor pertanian bagaikan gula, sehingga semut-semut akan berdatangan. Para pemuda akan bangga menjadi petani yang modern dan memiliki nilai tambah tinggi. 

Rabu, 01 Januari 2014

Who Can Defeat Jokowi

Jokowi and President SBY


Jokowi (Joko Widodo) is on the best position for rally of presidential campaign now. Most surveys show Jokowi has the biggest electability.  

Why is Jokowi, the governor of Jakarta, so popular? These are the answer. Firstly, he has non-formal leadership style. This is different with other contenders who tend to show the traditional characters.

Jimly Ashiddiqie, one of expert in law, says that  people likes  to Jokowi because he is a worker. "Public prefer to actions, " says Jimy quoted media. People don't like leader with the character:  no actions talk only (NATO).

Secondly, people see Jokowi has integrity. Psychologist Hamdi Muluk said Jokowi has good image    as honest and empathy .

Third, Jokowi has good branding as leader.  He likes seeing  people, inspecting the projects in remote area, the media call it actions as "blusukan". In Javanese language,  blusukan has meaning as walking through alleys to say hello to people  or checking. The actions result positive image of Jokowi such as hard-worker profile.

Fourth, there is social epidemic that people tend to follow the majority. Media coverings help Jokowi be more popular than challengers.  

Fifth, as the Jakarta governor, Jokowi has very important position. By having the strategic place, Jokowi become the most interesting object  for media covering.

He is standing on the main stage in political arena as the number one man in Jakarta. Jokowi become the point of view on political landscape.

Although Jokowi has many positive points, it doesn't mean the governor of Jakarta can not be defeated.

All the presidential candidates are thinking about how to beat Jokowi. Who can defeat Jokowi?

The candidate must have the opposite character of Jokowi. The image of Jokowi is very strong, so the contender has to have the stronger character but with different styles.

First, as Jokowi has worker profile, the rival must be the visionary. The rival's  pointview is not only  the short view but for long period. It is like pragmatic versus ideological.

All the people likes the character of working-hard  as Jokowi did, but it is not enough. The leader must know  where the nation will go. Not just riding a car with high speed but the driver has to control the car for going to the right destination.

Jokowi is rare talking about ideological topic. We don't know where he is going to bring this nation. President is the number man in Indonesia, and all the people will follow him. Everybody must know the leader will go to somewhere.

Secondly, the rival must have the good international link. Current President, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) has the good ability of communication, especially in international forum. The good relation with world leader will have good impact, especially in the crisis condition. The ability for convincing the big countries will useful by supporting Indonesia, for example for investment and infrastructures. 

Jokowi hadn't have fairly the experience in international relation. That is a weakness of Jokowi, the rival should be strong on it. In this case, the rival must have good networking in international stage in order to  will take benefit over competition with Jokowi.

Third, Jokowi need support from military. Indonesian people see military is still the key of politic. Military cannot be neglected, so the combination military-civic or civic-military is ideal for president-vice president of pairs. Military-military is not good set for now. Jokowi’s partner may be a military as an ideal companion.

I can say that Jokowi is not the perfect man. He needs the right partner to follow the presidential election. Sometimes Jokowi’s fanatic followers say he can win the election whoever his partner. It is too arrogant.


Nevertheless, Jokowi is standing at the front on the racing route now. Several months before election, Jokowi’s rival are in the position wait and see. They will “attack” in the right time.  There is chance to the challengers to beat Jokowi. Of course, it is not easy  road, the Jokowi’s opponents must have  own characters. People don’t need Jokowi’s imitation, they want different style of presidential candidates. People need comparison because they will select them. (Rihad Wiranto-personal view)   

Kamis, 26 Desember 2013

Election 2014: Find The Best Candidate (SBY is Key Figur)


SBY and Prabowo


Indonesia will held presidential election next year. People are looking for the right candidates post president Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). In the latest election in 2009, SBY won with nearly 70 percent vote.  He is the best for that period.

SBY has good characters; calm, expert in communication, tend to approach democratically, obey the law, and so on. In other hand, critics say SBY doesn’t have firm character although he is the soldier. Remember, no one is perfect. 

SBY has been leading this country for ten years. No chance for him to be elected again next year, by regulation. People must choose other candidates. It is not simple choice. A candidate needs 25 percent voter or 20 percent of legislative members, to follow the election. It means people have only maximum five candidates. Regulation doesn’t give chance for independent candidates in presidential election.

There are many achievements in SBY’s administration such as economic growth, political stability, and international recognition. There is not a new survey about electibility of SBY, because he has no chance for next year election. But Democratic Party’s electability tend to decline from around 17 percent last year to under ten percent today.

I still believe that SBY has fans. He has been President for ten years and only little resistance from few critics. He will still have influence next time. SBY has state man characters needed for reduce conflicts.

With the narrow space for candidacy, we will choose limited nominees. Surveys show that only few candidates have electability over ten percent personally, namely Aburizal, Megawati, Prabowo and  Jokowi. The other challengers like Hatta Rajasa, Wiranto, Dahlan Iskan, Pramono Edhie,  or Gita Wirjawan are standing on the second line.

Today, surveys indicate Jokowi is in the best position for presidential candidate. However, it is not the guarantee him to take the power due to it depend on Megawati's (PDIP Chief-Executive) decision.  If the Megawati say No for Jokowi, people will have to turn to the second shift nominees.

The party influence is very dominant to choose the candidates. For the reason, configuration of party will determine who will be chosen.  In my opinion, character of party will determine the decision.

Democrat Party will make decisive choice, whether ready to be the opposition. It depends on SBY's decision over what kind of the role that he wants to be. Today, Democrat has eleven candidates and one of them will be chosen the winner in the convention. SBY will choose the candidate who has biggest chance to face the other party’s contenders.

If the SBY will act as state man, Democrat is better entering in the power. It drives Democrat to affiliate with the coalition has big chance to win the election. It means that Democrat will not resistant to joint with PDIP although relation between SBY and Megawati is not very close. 

Probably, the election 2014 will run in two rounds. In an early election, there will be three coalitions, PDIP (Mega or Jokowi), Golkar (Aburizal), and other coalition. 

Democrat Party will be a golden boy in that situation. If Democrat gets votes 5 to 9 percent, it has strategic stand to choose the coalition. SBY's role will decide who will be the leader of the nation post 2014.

The other decisive person is Prabowo. Surveys show Prabowo's party, Gerindra, will catch vote around 7 percent. Personally, Prabowo has electability up to ten percent. He is the strong challenger for Jokowi. He can joint with Democrat and Islamic parties.

Islamic parties will gain little votes because very low popularity now. They don't have the same platform, and I can not hope they will joint together hand in hand making one decision for all. Party's interest will drive their choices. They will choose the coalition have big chance to win. They will count calculation first before affiliate the coalition. PKB (Nation Awakening Party) nominated the singer Rhoma Irama for president, but it is very hard to get votes around 20 percent as regulation required.

In the second round election, there are several scenarios but PDIP vs Golkar is the biggest probability, I think. If Jokowi will follow the election, Aburizal will be contender. In the normal situation, the Jokowi factor will drag many parties to make coalition. Other scenario is Jokowi versus Prabowo.

The real “war” has not been there. We cannot guarantee Jokowi still be strong facing attacks in the last minutes. Sometime the black horse will come in the abnormal condition. (Rihad Wiranto-Personal View)

    






Selasa, 17 Desember 2013

Jokowi Reality or Myth

Jokowi masuk got.






Everyone talk about Jokowi now. Every where. Amazing. Only few people comment him in negative ways. Why are most people talking about him positively? Whether Jokowi is excellent or people are just telling illusion about him?

Okay, people say what Jokowi’s  real achievements. Let’s say, monorail had been canceled by complicated reasons and we ever thought the project would die forever. Today the dreams seem came true again. Jokowi has found the loosing part in the puzzle.

Jokowi is moving everywhere, seeing communities, chatting with kids and moms, and servicing societies. Fortunately, reporters follow him day and night. Jokowi get benefits from the coverage which not only by local media, but national even international news hunters.
   
We are asking again, are people impressed by Jokowi’s real achievement or amazed by abundant media covering. Researcher of Cyrus Network, Eko David Dafianto says people tend to be irrational when they are chatting about Jokowi. “They are trapped between reality and myth, “ said Eko, Saunday (15/12) quoted by media in Jakarta.

Jokowi is on the front of presidential campaign for election next year. His electability has been reaching 28.2 percent the highest level than his contenders. He needs 51 percent voters to win election. The competitors, of course, still have chances to win the racing, but they must work very hard.

Many surveys show candidates for Indonesian Number One, such Prabowo Subianto (Gerindra), Aburizal Bakrie (Golkar), Wiranto (Hanura), Megawati Soekarnoputri (PDIP), and Jusuf Kalla. There is not candidate who can reach eletability more than 15 percent according to many surveys, except Jokowi.

Old-fashioned competitor show “King style”, like speaking softly, sounding authoritative voice, standing not closely to people, and keeping the image.      
Jokowi is anomaly. He is newcomer on the national stage and having new style of leadership which caring to grassroots community.

I can say he is not handsome (I am sorry). He looks like ordinary man. He is acting like common people. He jumped in culverts to check water flowing. He preferred inaugurating officials in village than in his governor office. Jokowi’s new style leadership attracted media to cover him everywhere. 

The question is still there, whether media overlook the other presidential candidates. I think the answer is yes. Jokowi has been moving to a media darling. He got benefit from the status. However, it is not fair for public.

Journalist should open eyes to criticize the Jokowi policies to make sure implementation of the cover-both sides style that media have to adhere. Reporters tend to write off negative information of Jokowi’s activities.

Some people say Jokowi is like prophet.  Republika online wrote about how some people call Jokowi as Nabi Jokowi or Prophet Jokowi. Googling with key word “Nabi Jokowi” detected 1,9 million finding. It is too crazy judging the ordinary man as prophet. It is media challenges to protect themselves from intervention of irrationalism. News writer have to focus showing facts and data, not influenced by admiration of Jokowi.

Indonesia needs new president post SBY. Many candidates are there beyond Jokowi.  Many of them has proclaimed as the presidential candidates, namely businessman Aburizal Bakrie (Golkar), retired army General Wiranto (Hanura), singer Rhoma Irama and eleven men via Democratic Party’s Convention. 

Presidential candidates of Democratic Convention are Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Irman Gusman, Hayono Isman, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo, and Sinyo Harry Sarundajang.


Media should prioritize showing programs and actions the candidates and make balancing for all. Public hunger information about the candidates not only their proposals, but tracks record. It is the noble task for media.   Rihad Wiranto