Rabu, 12 Maret 2014

Cara Mengangkat Martabat Petani

Petani di tengah sawah (rihad)




Sejak kecil, para guru dan orang tua kita menggambarkan Indonesia sebagai negara agraris. Sebutan itu cocok dengan kenyataan Tanah Air termasuk wilayah tersubur di dunia. Sebagian besar masyarakat kita juga berprofesi sebagai petani. Kedengarannya membanggakan, kita memiliki tanah ijo royo-royo.

Tapi sangat jarang anak-anak bercita-cita menjadi petani. Orang tua juga tak banyak yang menginginkan anak-anaknya menjadi petani. Bahkan mereka yang kemudian lulus menjadi sarjana pertanian, kebanyakan tidak menjadi petani.

Wajar jika secara perlahan, jumlah petani di Indonesia terus menurun selama sepuluh tahun terakhir. Sensus Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian mencapai 26,14 juta. Jumlah ini turun 5,1 juta atau 16,32 persen dibanding 31,23 juta rumah tangga pada Sensus Pertanian 2003.

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan BPS setiap 10 tahun sekali, sejak tahun 1963.

Dari tujuh subsektor pertanian yang masuk sensus, penurunan jumlah rumah tangga pertanian terbesar terjadi pada holtikultura yang mencapai 37,4 persen dari 10,91 juta pada  2003 menjadi hanya 10,60 juta rumah tangga pada 2013.

Subsektor peternakan merosot 30,26 persen dari 18,59 juta rumah tangga menjadi 12,97 juta rumah tangga pada 2013.  Subsektor perikanan turun 20,66 persen dari 2,49 juta rumah tangga menjadi 1,97 rumah tangga.

Penurunan terkecil terjadi pada subsektor kehutanan sebesar 0,66 persen dari 6,83 juta tahun 2003 menjadi 6,78 juta pada 2013.

Pada subsektor tanaman pangan turun 0,98 juta rumah tangga, dari 18,71 juta pada 2003 menjadi 17,73 juta. Subsektor perkebunan turun 1,35 juta rumah tangga dari 14,13 juta pada sensus 2003, menjadi 12,77 juta.

Subsektor peternakan turun 5,63 juta rumah tangga dari 18,60 juta pada 2003 menjadi 12,97 juta pada 2013.

Subsektor perikanan turun 0,51 juta menjadi 1,98 juta rumah tangga dari sensus pada 2003 sebanyak 2,49 juta. Teakhir, subsektor jasa pertanian turun dari 1,85 juta rumah tangga menjadi 1,08 juta rumah tangga.

Hanya subsektor budidaya ikan yang meningkat, dari 0,99 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 1,19 juta pada 2013.

Berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian itu disebabkan turunnya jumlah petani gurem, yaitu petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare. Menurut BPS, jumlah petani gurem pada 2013 sebesar 14,25 juta rumah tangga, turun 4,22 juta dibandingkan Sensus 2003 sebanyak 19,02 juta.

Penyebab perpindahan profesi petani antara lain karena lahan telah beralih fungsi seperti dijual oleh pemilik, disewakan, atau beralih profesi. Mereka lebih tertarik bekerja di sektor industri, perdagangan, makanan, dan jasa.

Secara keseluruhan  petani gurem terbanyak berada di Pulau Jawa sebanyak 10,18 juta rumah tangga, disusul Sumatera 1,81 juta rumah tangga, Pulau Bali dan Nusa Tenggara 0,9 juta.  Sedangkan jumlah petani gurem terkecil berada di Pulau Kalimantan sebanyak 0,28 juta rumah tangga.

Meskipun jumlah petani menurun, tapi mereka masih mayoritas dibandingkan profesi lain di Indonesia. Pada 2013, jumlah pekerja di bidang prtanian, prkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan sebanyak 39, 9 juta jiawa. Angka ini dihitung dari pekerja di atas 15 tahun. Sebagai perbandingan, mereka yang bekerja di sektor industri hanya 14,8 juta orang sedangkan jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan  17,5 juta.

Tapi kebanyakan yang bertahan jadi petani mulai “uzur”. BPS mencatat dari 26,14 juta rumah tangga petani yang ada di Indonesia 32,76 persen berusia di atas 54 tahun atau  8,56 juta orang.

Sedangkan  7,32 juta petani berusia 45 sampai 54 tahun atau sebesar 28,03 persen.  Hanya 3,12 juta  petani atau 11,98 persen berusia 25 tahun sampai 34 tahun. Usia 35 sampai 44 tahun jumlah petani yakni 6,88 juta orang atau 26,34 persen. Untuk usia 15 sampai 24 tahun ada 229,94 ribu.

Jika hanya sedikit anak muda yang mau jadi petani, apa yang salah? Kenyataannya sektor pertanian semakin hari semakin kalah bersaing. Banyak orang menjual tanah pertanian untuk tujuan lain seperti perumahan atau industri. Peralihan lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720 hektare per tahun. Alih fungsi lahan kering pertanian ke nonpertanian sebesar 9.152 hektare  per tahun.

Hasil sensus 1983, menyebutkan  petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0,98 hektare. Pada sensus 2003, petani Indonesia tinggal memiliki 0,7 hektare. Di Pulau Jawa bahkan hanya memiliki 0,3 hektare.

Memang sulit dipungkiri, pada umumnya semakin maju sebuah negara, sektor pertanian cenderung ditinggalkan. Tapi, pertanian tidak hanya persoalan pekerjaan, melainkan soal ketahanan pangan yang sangat strategis bagi Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa. Jika pertanian tidak kuat, maka Indonesia bisa tergantung impor pangan. Situasi ini membuat Indonesia sangat rentan dari sisi ketahanan pangan.

Bagaimanapun Indonesia memiliki lahan yang relatif sempit. Di Indonesia, rasio luas lahan pertanian per kapita hanya 560 meter per segi. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai 5.600 meter persegi per kapita atau selisih 10 kali lipat. Artinya, jika per kepala keluarga di Thailand memiliki 3 hektare lahan pertanian, maka di Indonesia hanya 0,3 hektare. 

Indonesia pada hakekatnya tidak bisa terus menerus mengandalkan Jawa yang semakin sempit. Pembukaan lahan di luar Jawa menjadi pilihan yang tepat tetapi harus diikuti dengan kebijakan pendukung yang memadai. Kegagalan pembukaan lahan 1 juta haktare di jaman Suharto harus diambil hikmahnya.

Industri pengolahan produk pertanian harus terus dilakukan. Indonesia meemiliki kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah pertanian seperti dilakukan beberapa pengusaha. Itu terlihat dari industri pengolahan dan pengemasan kacang tanah Indonesia yang sudah berhasil membawa nama bangsa. Tapi masih banyak hasil pertanian yang belum diolah. Inilah tantangan pengusaha dan sarjana pertanian untuk meningkatkan nilai tambah semaksimal mungkin.

Secara keseluruhan, kita tidak bisa lagi mengembangkan pertanian yang tradisional dengan mengandalkan kebaikan alam. Kita harus mengolah dengan teknologi hasil pertanian menjadi produk unggulan yang bisa masuk ke pasar internasional.


Pada prinsipnya, nilai tambah yang tinggi, ini terlihat dari upah di sektor ini, akan bisa merangsang anak muda untuk terjun ke pertanian. Jika pendapatan mereka tidak memadai dibandingkan dengan keringat yang keluar, mereka tak akan mau menjadi petani. Mudahnya, buatlah sektor pertanian bagaikan gula, sehingga semut-semut akan berdatangan. Para pemuda akan bangga menjadi petani yang modern dan memiliki nilai tambah tinggi.