Selasa, 18 Juni 2013

Pengelolaan Pesawat Tidak Sama dengan Mikrolet

Burung yang sehat bisa terbang secara aman.
NAIK pesawat selalu berbeda rasanya dengan menumpang bus umum. Meski sudah terbang berkali-kali, selalu saja rasa was-was hinggap sebelum take off maupun landing. Kadang untuk melepas stres, penumpang bertepuk tangan sesaat ban pesawat menyentuh landasan. Atau tidur sepanjang perjalanan.

Meski kecelakaan kendaraan darat tiap hari terjadi, kadang dengan jumlah korban tidak sedikit, pemberitaan di media tidak seheboh pesawat tergelincir. Berita pesawat jatuh selalu ramai dibicarakan. Tapi semua kegaduhan itu baik adanya yang mendorong teknisi memperbaiki kinerja pesawat. Terbukti, transportasi udara maju pesat dari sisi teknologi. Semua pihak selalu berusaha menuju standar "nol kecelakaan".

Kecelakaan MA-60 buatan China yang tergelincir di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (10/6) juga mengundang tanggapan serius. Merpati mendatangkan 14 pesawat secara bertahap pada 2007 dengan harga per unit US$ 11 juta atau Rp 94,08 miliar. Kinerja pesawat ini menjadi pertanyaan karena sudah banyak kecelakaan yang terjadi. Tragedi pesawat terparah adalah saat jatuh di Teluk Kaimana, Papua Barat, yang menewaskan20 orang pada 7 Mei 2011.

Insiden kecil pesawat ini sudah terjadi di berbagai tempat. Sebut saja MA-60 memercikan api di Bima, NTB (12/12/2011), terperosok di lahan gambut di Sampit, Kalteng, (8/1/2012), ban belakang tidak berfungsi dan pesawat terperosok di Lombok, NTB (31/12/2012).

Bukan saja di Indonesia, pesawat berkapasitas 60 orang ini juga bermasalah di negara lain. Kejadian terbaru 10 Juni lalu, pesawat Myanmar Airways terpeleset di kota Kawthaung. Kejadian sebelumnya di Zimbabwe, Filipina, dan Bolivia. Meski kebanyakan kecelakaan ringan, berita seperti itu menambah waswas orang yang akan menggunakannya.

Apalagi sebagian orang meragukan produk China dalam hal kualitas. Bertahun-tahun China membangun industrinya melalui produk murah untuk menembus pasar ekspor. Jika produk yang diimpor sekadar mainan anak-anak, kalau rusak langsung masuk tempat sampah. Bagaimana jika yang rusak pesawat?

Untuk beberapa hal China memang kontrakdiktif. Di satu sisi, mereka dengan sengaja menjual produk murah meski kualitas rendah. Di sisi lain, China mampu membuat pesawat terbang, bahkan wahana ruang angkasa.

Produk tiruan China sangat mirip dengan produk yang "dibajaknya". Lihat saja berbagai produk handphone dan gadget lain yang banyak ditemukan di negara itu termasuk Indonesia. Para pembeli sudah sadar, kalau produk itu bersifat untung-untungan. Kalau pas lagi dapat bagus, pembeli untung. Jika ternyata produknya buruk, ya anggap saja konsumen sedang sial.
Tentu dalam hal pesawat, China tak bisa untung-untungan. Kenyataannya, negara itu baru saja meluncurkan Shenzhou-10 tepat pukul 17.38 waktu setempat, Selasa (11/6).

Tiga astronot yang mengawaki masing-masing Nie Haisheng, Zhang Xiaoguang, dan Wang Yaping, astronot wanita kedua China. Mereka menjalani misi 15 hari di luar angkasa untuk menjajaki pembangunan stasiun luar angkasa. Shenzhou-10 bahkan sudah bergabung dengan laboratorium antariksa Tiangong 1 guna penelitian medis dan teknis.

Tapi keraguan atas produk China memang masih terdengar. Itulah sebabnya, pihak Merpati langsung bereaksi setelah kecelakaan pesawat MA-60. Dirut Merpati, Rudy Setyopurnomo memastikan MA-60 adalah pesawat aman berkat komponen buatan Amerika dan Eropa. "China hanya merakitnya, " katanya, Rabu (12/6).

MA-60 singkatan dari Modern Ark artinya "Menuju Keberuntungan". Sedangkan angka 60 berarti pesawat ini dapat mengangkut maksimal 60 penumpang. Pabriknya berada di kota Xian, yaitu AVIC -Xi'an Aircraft Industry (Group) Company LTD atau sering juga disebut Xi'an Aircraft International Corporation.

Pesawat ini dibuat dengan melibatkan banyak insinyur berbagai negara. Desain pesawat MA-60 oleh Anatonov, mesin buatan Kanada, komponen lainnya dari Amerika dan Eropa. Cara pembuatannya mirip dengan pesawat diproduksi PT Dirgantara Indonesia dengan CN-250 yang melibatkan kerja sama Casa (Spanyol) dan Nurtanio/Nusantara.

Bedebat soal kecanggihan pesawat seringkali tidak ada ujung pangkalnya. Produsen selalu menyebut pesawat buatannya bagus. Kita sebagai konsumenlah yang harus waspada.
Semakin hari jumlah penerbangan di Indonesia makin banyak. Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar menyatakan lima tahun terakhir pertumbuhan penumpang pesawat naik 10-18 persen. Tapi masih banyak orang Indonesia yang tidak pernah naik pesawat selama hidupnya. "Dari 250 juta penduduk Indonesia, yang naik pesawat baru 80 juta orang," katanya di Nusa Dua Bali di depan forum Pemred.

Emirsyah membandingkan dengan Singapura. Negara mungil itu hanya dihuni 5 juta penduduk. Tapi mereka berulang kali naik pesawat, hingga mencapai 35 juta orang. Sementara Australia dengan 22,8 juta penduduk memiliki penumpang hingga 77 juta orang.

Artinya akan banyak pesawat yang akan lalu-lalang di udara Indonesia, mengingat banyak warga yang mulai gandung terbang. Banyak pengusaha yang berebut untuk membangun maskapai. Tapi perlu diingatkan, membangun bisnis penerbangan tidak sama dengan angkutan darat, katakanlah mikrolet yang sangat semrawut saat ini. Jangan sampai Indonesia menjadi "kuburan" pesawat. (pernah dimuat di Jurnal Nasional 15 Juni 2013) n Rihad Wiranto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar