Kamis, 25 Juli 2013

Rumitnya Tangani Pengemis Musiman


Pengemis menjalar di musim Ramadan
Di bulan Ramadan ini, gairah kaum muslimin untuk bersedekah meningkat pesat. Umat muslim menyediakan takjil di masjid dan mushala, menyantuni anak yatim piatu, atau memberi sedekah kepada si miskin.
Kata shadaqah disebutkan dalam Al-Qur'an 15 kali dan semuanya turun pasca-hijrah, yakni di Madinah. Kata shadaqah berarti "benar". Dari sudut syari'at, sedekah berarti "segala pemberian amal di jalan Allah". Pengertian sedekah lebih luas daripada infak. Infak berkaitan dengan materi, sedang sedekah juga menyangkut hal yang non-materi.

Dari segi makna syar'i, hampir tidak ada perbedaan makna antara sedekah dan zakat. Al-Qur'an sering menggunakan kata sedekah dalam pengertian zakat. Contohnya, Allah SWT berfirman dalam QS At-Tawbah (9): 103 berbunyi "Ambillah sedekah (zakat) dari sebahagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Rasulullah SAW dalam hadits pun menyebut sedekah dengan makna zakat, seperti dalam hadits yang mengisahkan pengiriman Mu'adz bin Jabal RA ke Yaman. "Beri tahu mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka untuk mengeluarkan sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka...."

Di bulan Ramadan, kepentingan orang kaya dengan kaum miskin bertemu. Orang kaya melihat bulan suci ini sebagai saat tepat untuk memberi sedekah. Di sisi lain, si miskin melihat Ramadan merupakan waktu paling hoki untuk mendapatkan banyak pendapatan. Di Ramadan inilah, di kaya dan si miskin bertemu, berbagi kebahagiaan.

Meski angka kemiskinan Indonesia terus menurun, jumlah mereka masih banyak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2013 masih 28,59 juta orang. Mereka menjadi golongan paling rentan di bulan Ramadan karena harga pangan cenderung naik.

Tidak terbayangkan orang miskin harus membeli daging seharga Rp100 ribu per kilogram. Tapi bulan Ramadan ini, mereka bisa mendatangi masjid setiap buka puasa. Banyak makanan disajikan, dan kadang daging masuk dalam menu, setidaknya sebutir telor. Makanan takjil ini merupakan sumbangan dari kalangan menengah sekitar 135 juta jiwa berdasarkan data Bank Indonesia (BI) pada 2012.

Sayangnya, di bulan Ramadan ini, banyak muncul pengemis gadungan. Mereka tidak melarat tapi berpura-pura miskin. Ini problematik sosial yang terkait mental. Kementerian Sosial memperkirakan 7.000 pengemis musiman beroperasi di Jakarta pada Ramadan ini. Kemensos mendefinisikan mereka sebagai pengemis musiman, bukan pengemis permanen. Pantauan Kemensos menyatakan pengemis bisa meraup Rp4 juta selama Ramadan. Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan menemukan fakta mengejutkan, ada pengemis bisa meraup Rp750 ribu hingga Rp1 juta sehari.


Masalahnya, bagi pemberi sedekah, sangat sulit membedakan pengemis pura-pura dengan peminta-minta asli. Mereka mengenakan pakaian sama-sama kumuh, rambut berantakan, kadang ada pula kaum disable.
Mereka yang ingin sedekah mengalami konflik batin. Apakah pengemis yang menyodorkan tangannya ke jendela mobil itu gadungan atau asli? Mudah saja Kemensos melarang orang memberi sedekah kepada pengemis. Tapi kenyataan di lapangan, konflik psikhologis tadi tak bisa diselesaikan dengan aturan seperti itu.

Himbauan Kemensos ini seperti ironi. Di satu sisi, kementerian ini melarang memberi sedekah, tetapi kemampuannya untuk menangani pengemis sangat minim. Pihak Kemensos hanya menangani penyandang masalah sosial permanen yang ditampung di panti-panti. Jumlahnya hanya 145 ribu orang terdiri gelandangan, orang cacat berat, lansia dan lain-lain. Lalu siapa yang mengurus orang miskin lain di luar panti?
Penanganan masalah pengemis musiman menjadi tugas banyak pihak. Sekadar penangkapan dan pengembalian ke tempat asal hanya solusi sementara. Strategi penyelesaian menyeluruh perlu dirumuskan secara baik.

Pemda DKI atau kota lain yang menjadi tujuan pengemis, harus mendata secara detail tentang profil pengemis, tempat mangkal, asal daerah dan sebagainya. Misalnya di Jakarta, ternyata berdiri beberapa 'Kampung Pengemis' yang menampung pendatang dari Indramayu, Cirebon, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Daerah-daerah pemasok juga harus aktif mencari solusi agar penduduknya tidak menjadi pengemis musiman. Pengkajian melibatkan para pakar bisa merumuskan pokok masalah dan membuat solusi menyeluruh. Tanpa penanganan serius, para pengemis gadungan ini akan selalu datang, pergi,dan datang lagi...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar