Minggu, 01 September 2013

Masyarakat Indonesia Makin Boros



Masyarakat kita cenderung boros ya...

Pada jaman dulu, ketika seseorang bertemu kerabatnya, pertanyaan yang paling lazim adalah “sudah makan belum?”. Maklum, ketika itu masyarakat Indonesia masih berkutat dengan kebutuhan pangan.

Kini, ketika bertemu dengan saudara atau rekan kerja, yang ditanyakan adalah berapa anak, rumah dimana, atau mungkin jumlah mobil dan kepemilikan saham. Faktanya, kemajuan ekonomi membawa pola hidup yang lebih menuntut. Buntutnya,  gaya hidup modern  cenderung lebih boros.

Kalangan menengah Indonesia makin banyak, mereka memiliki gaya hidup yang tak mau serba pas-pasan. Indonesia saat ini tercatat menduduki peringkat 16 dunia dari sisi total PDB. Beberapa lembaga riset internasional, misalnya McKinsey Global Institute meramalkan, Indonesia akan menduduki peringkat ke-6 atau ke-7 dunia pada 2030. Jumlah kalangan menengah akan mencapai di atas 135 juta dibandingkan saat ini sekitar 50 juta orang.

Kaum yang berduit mengubah acara makan dari sekadar mengisi perut menjadi petualangan selera. Mereka berganti-ganti restoran untuk menjajal makanan dan menu. Kadang mereka mengabaikan porsi makanan, wajar jika masalah kegemukan pun menjadi masalah baru di Indonesia.

Prevalensi gemuk pada anak Indonesia meningkat dari 12,2 persen (2007) menjadi 14 persen (2010).  Padahal, anak yang gemuk memiliki risiko untuk tetap gemuk hingga  dewasa, yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko terkena penyakit kronis seperti diabetes dan jantung. 

Tak hanya di Indonesia, masyarakat dunia yang lebih maju sudah boros duluan. Berdasarkan data FAO (Food and Agriculture Organization), setiap tahun 1,3 miliar ton makanan di dunia terbuang atau hilang.  Di sisi lain, satu dari tujuh  orang di dunia tidur dalam keadaan lapar. Lebih dari 20.000 anak-anak di bawah 5 tahun meninggal dalam perut kosong.  

Salah satu perilaku boros lainnya adalah kebiasaan naik kendaraan pribadi. Mengantar anak, belanja ke pasar, pergi ke rumah tetangga, yang jaraknya mungkin hanya beberapa meter, mereka naik motor. Pantas jika penggunaan bahan bakar minyak terus (BBM) melonjak.

Asal tahu saja,  impor BBM Indonesia per harinya sekitar 700.000-800.000 barel per hari. Ini akibat kebutuhan BBM orang Indonesia mencapai 1,4 juta kiloliter (KL) per  hari. Konsumsi BBM yang tinggi menyebabkan subsidi pun membengkak. Pada 2012, realisasi subsidi BBM Rp211,9 triliun, membengkak jauh di atas anggaran awal Rp137,4 triliun.

Banyaknya belanja jelas akan menciptakan pertumbuhan. Indonesia dengan jumlah penduduk 240 juta, jika semuanya suka belanja, tentu akan menggerakan ekonomi.
Tapi konsumsi boros  akan menimbulkan masalah serius  di kemudian hari.

Dampak makanan sisa ini tidak hanya dari sisi finansial, namun juga memberikan dampak secara lingkungan. Makanan yang terbuang ini berarti juga membuat bahan-bahan kimia dari proses pemupukan dan pestisida, emsisi gas buang transportasi makanan itu juga terbuang.

Makanan-makanan yang terbuang ini justru akan menambah gas methana yang seharusnya tidak perlu ada. Zat ini menurut catatan PBB memiliki daya rusak 23 kali dari CO2 dalam hal mengakibatkan efek rumah kaca.

Belum lagi dampak dari pemborosan BBM yang tidak terkendali. Selain lingkungan hidup yang kotor, kecenderungan impor BBM yang terus membesar bisa menimbulkan keseimbangan ekonomi secara keseluruhan semakin terganggu.

Konsumsi yang besar apalagi dipenuhi dengan impor, akan menjadikan Indonesia tidak aman, termasuk pangan. Kcenderungan makan berbahan dasar pangan impor makin besar.

Volume impor gandum Indonesia pada 2011 mencapai 5,4 juta metric ton atau senilai US$2,1 miliar. Pada 2012, volume impor gandum Indonesia naik menjadi 6,2 juta metric ton atau senilai US$2,2 miliar.

Pada periode Januari-April 2013, volume impor gandum Indonesia mencapai 2 juta metric ton, naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu 1,9 juta metric ton. Nilai impor gandum Indonesia pada Januari-April 2013 mencapai US$771,4 juta.

Indonesia mengimpor gandum paling banyak dari Australia (70,7 persen), disusul Kanada (14,9 persen), dan Amerika Serikat (11 persen). Indonesia juga mengimpor gandum dari India, Rusia, Pakistan, dan Turki. 

Belum lagi impor kedelai yang juga menjadi bahan makanan penting bagi orang Indonesia.

Diperlukan perubahan gaya hidup yang berbasis pada kekayaan lokal, misalnya dengan mengembangkan makanan hasil bumi Indonesia. Makanan olahan yang harus dikembangkan semestinya adalah produk berbasi pertanian Indonesia seperti umbi-umbian yang banyak ditemui di lading kita. Kreatifitas pengolahan beras juga bisa mengurangi kecenderungan untuk makan mie atau roti.

Kearifan lokal Indonesia sebenarnya sudah membekali kita dengan berbagai teknik masak yang dapat memperpanjang daya tahan makanan. Rendang, misalnya, dapat bertahan berhari-hari, bahkan ada yang sampai dalam hitungan bulan. Teknik pengeringan ikan dengan cara diasap atau diasinkan lalu dijemur juga menjadi cara yang efektif. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar