Rabu, 11 September 2013

Sepenting Apa Kedelai Buat Indonesia?

Kedelai, tempe dan tahu


Ribut-ribut soal kedelai, banyak orang yang berteriak. Ibu rumah tangga berteriak karena harga tahu dan tempe naik hingga 25 persen. Semula tempe dan tahu adalah makanan berprotein yang murah, eh.. lama-lama ngelunjak (alias naik).

Mau beralih ke protein hewani seperti daging sapi, harganya malah lebih parah hingga pernah mencapai di atas Rp150 ribu per kilo.  Daging ayam, telor, dan ikan pun tak murah. Tempe dan tahu adalah andalan protein keluarga Indonesia. Dalam 100 gram tempe mengandung 201 kilo kalori energi, 20,8 gram protein, 8,8 gram lemak, 13,5 gram karbohidrat dan 1,4 gram serat.

Bukti bahwa orang Indonesia doyan tempe dan tahu terlihat  dari konsumsi kedelai yang naik terus. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tahun 2012, total kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,2 juta ton. Sebanyak  83,7 persen diantaranya untuk pangan, terutama tahu-tempe. Kebutuhan industri Kecap, Tauco, dan lainnya hanya 14,7 persen dan benih 1,2 persen.

BPS memperkirakan produksi kedelai dalam negeri akan mencapai  847,16 ribu ton biji kering untuk tahun 2013.  Angka ini naik 0,47 persen dibandingkan data produksi kedelai 2012 sebesar 843,15 ribu ton.  Namun, jumlah produksi kedelai ini masih jauh lebih rendah dari kebutuhan kedelai yang mencapai lebih 2,2 juta ton. Lagi-lagi, Indonesia harus impor.  Dari data itu terlihat sungguh ironis, makanan kesukaan orang Indonesia itu justru dipasok dari luar negeri.    

Tingginya konsumsi membuat industri tahu tempe menjadi andalan banyak tenaga kerja.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu/Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin mencatat di seluruh Indonesia ada 114.575 perajin dengan tenaga kerja 1,5 juta orang. Akibat kenaikan harga tempe, banyak perajin yang menghentikan usahanya. Sebanyak 10 persen  yang sudah menghentikan produksinya. Sekitar 300.000 pekerja dirumahkan.

Amerika sangat senang dengan kegemaran orang Indonesia makan tahu tempe. Maklum Amerika produsen kedelai terbesar di dunia. Amerika Serikat merupakan negara pengekspor terbesar ke Indonesia.

Pada 2012, kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta ton. Impor kedelai terbesar dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton pada 2011. Impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton.

Tahun lalu terjadi anomali cuaca di Amerika Serikat dan Amerika Selatan yang menyebabkan pasokan kedelai turun dan harganya melonjak. Harga kedelai internasional pada minggu ke-3 Juli 2012 mencapai US$622 per ton atau Rp8.345 per kilogram untuk harga impor di dalam negeri.

Harga ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga tertinggi pada 2011, yaitu bulan Februari sekitar US$513  per ton atau harga paritas impor di dalam negeri sekitar Rp 6.536 per kg.  

Meski kedelai naik, pedagang tak ingin kehilangan konsumen. Bagi pengusaha jauh lebih baik mendapat keuntungan kecil dibandingkan kehilangan pelanggan. Untuk mencegah kerugian, pedagang mengecilkan bentuk tempe atau tahu. Sehingga konsumen masih bisa beli tahu atau tempe meski ukurannya mengkeret alias mengecil.

Ketergantungan kepada impor menimbulkan risiko harga di dalam negeri berfluktuasi. Pertama, soal kenaikan harga kedelai di Amerika. Kedua, turunnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika. Masalah pasokan kedelai tidak ada masalah, tetapi harga memang naik dari produsen.

Menentukan harga kedelai yang pas juga dilematis. Harga yang terlalu rendah akan menyebabkan para petani di Indonesia tidak berminat menanam kedelai. Akibatnya pasokan dari dalam negeri terancam menyusut. Impor akan membesar karena dirasa lebih menguntungkan karena harga yang relative murah.

Di sisi lain, jika harga kedelai naik, konsumen tahu tempe yang keberatan. Petani kedelai tentu diuntungkan karena pendapatan mereka lebih besar. Menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dan petani perlu dicarikan rumusan yang tepat.

Pada prinsipnya, dari sisi ketahanan pangan, jauh lebih baik jika mayoritas kedelai dipasok dari dalam negeri. Langkah menuju swasembada kedelai harus diteruskan. Rakyat Indonesia suatu saat akan bisa menerima harga kedelai mahal asalkan itu hasil jerih payah petani sendiri. Petani kedelai makmur, konsumen pun senang.


Para pedagang perlu memahami tentang hubungan antara harga kedelai dengan kegairahan petani menanam kedelai. Pedagang tidak bisa terus menerus menekan harga kedelai dengan mengabaikan hukum ekonomi. Harus ada penyesuaian antara kepentingan konsumen, pedagang dan petani. Berbagai kementerian musti merumuskan masalah ini dalam perspektif jangka panjang menuju swasembada kedelai yang menguntungkan petani dan konsumen sekaligus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar