Kamis, 12 Desember 2013

Alasan WTO Untungkan Negara Berkembang

Kesepakatan menguntungkan semua pihak


Setelah melalui perundingan yang melelahkan, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akhirnya menghasilkan kesepakatan bersejarah, yang disebut Paket Bali, Sabtu pekan lalu ( 9/12). 

Paket Bali mampu memecahkan kebuntuan tentang keamanan pangan, isu yang telah menciptakan perpecahan diantara negara berkembang. Di satu pihak, India berargumen, bahwa negaranya berhak membeli produk pertanian dengan harga lebih  tinggi dibandingkan harga pasar. Alasannya, pemerintah menggunakan beras itu untuk persediaan pangan dalam negeri.

Alasan lain, setengah dari tenaga kerja di India berada di sektor pertanian, sehingga mereka perlu dilindungi. Pertanian adalah isu politik terbesar di India. Tahun depan, India akan mengadakan pemilu, jadi pantas para delegasi India  di Bali akan memperjuangkan kepentingan petani.

Sementara itu, negara berkembang seperti Thailand Pakistan dan Uruguy yang juga eksportir pangan seperti India,  menyatakan bahwa pembelian harga yang lebih mahal di India dapat melemahkan posisi petani di negara mereka.


Amerika juga keberatan dengan apa yang dilakukan India, karena kebijakan memberi tunjangan kepada petani tidak sesuai semangat perdagangan bebas. Sesuai semangat perdagangan bebas, subsidi semacam itu cenderung diturunkan atau dengan kata lain intervensi pemerintah seharusnya ditiadakan.

Tapi pada akhirnya kesepakatan terjadi, yakni untuk tidak mengubah kebijakan India itu hingga Desember 2017. Sebagai imbalannya, India tidak akan  menganggu program keamanan pangan di negara anggota WTO lainnya.

Tapi pertanyaan yang paling dilontarkan adalah siapa yang mendapat keuntungan dari kesepakatan  Paket Bali, apakah negara maju atau negara berkembang.

Ada baiknya dikutip pernyataan Peterson Institute of International Economics yang bemarkas di Washington DC, Amerika Serikat. Lembaga ini menyatakan, kesepakatan di Bali akan menginjeksi ekonomi dunia hingga US$960 miliar. Kajian lain menyebutkan angkanya mencapai US$1 triliun atau Rp11.500 triliun. Ini terjadi dengan cara mengurangi hambatan birokrasi yang banyak terdapat di negara miskin.

Peterson Institute juga menyebut kesepakatan Bali akan menciptakan 21 juta lapangan kerja baru, sebanyak 18 juta diantaranya berada di negara berkembang. Direktur Jenderal WTO, Roberto Azevedo meyakinkan Paket Bali akan memberikan manfaat bagi banyak kalangan di seluruh dunia, termasuk komunitas bisnis, pengangguran, kalangan miskin, dan petani negara berkembang.

Kesepakatan di Bali juga memudahkan negara berkembang atau Least Developed Countries (LDCs) ketika mengekspor ke negara kaya. Kesepakatan ini juga bisa mengarah kepada pengurangan subsidi pertanian oleh negara kaya.
Meski mendapat banyak protes, khususnya mereka yang anti globalisasi, WTO tetaplah menjadi andalan dalam perundingan. Di forum WTO inilah, negara besar dan negara miskin bisa duduk bersama membicarakan masalah perdagangan dengan setara. Kesepakatan di WTO diambil dengan konsensus, dengan demikian setiap negara bisa menolak kesepakatan. Tidak ada keputusan lewat voting yang bisa menguntungkan negara pemenang pemungutan suara saja.

Bagaimana Paket Bali akan bermanfaat bagi Indonesia? Seperti disampaikan Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, Paket Bali memudahkan  Indonesia mencapai swasembada pangan, bahkan menjadi eksportir produk pertanian. Negara-negara berkembang bisa melindungi para petaninya. Apabila ada impor produk pertanian,  Indonesia bisa memberikan tarif tinggi hingga 15 persen demi melindungi petani. Di sisi lain, negara-negara maju harus mengurangi subsidi.

Sekarang tinggal bagaimana Indonesia bisa meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Dengan produksi yang besar, Indonesia bukan hanya bisa berswasembada tapi juag bisa menjadi eksportir pangan.
Apalagi pasar bebas ASEAN akan segera berlaku. Persaingan produk pertanian Indonesia harus bisa mengungguli pertanian produk negara tetangga agar bisa memenangkan persaingan.

Paket Bali juga berisi tentang fasilitasi perdagangan dan pembangunan negara kurang berkembang (Least Developed Countries/LCDs). Fasilitasi perdagangan yang disepakatai memungkinkan negara-negara maju memberikan bantuan dan kemudahan bagi negara berkembang dalam meluaskan pasar ekspornya. Caranya bisa dengan transfer teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Paket Bali bisa meningkatkan ekspansi pasar negara berkembang. Hal ini berdampak pada meningkatnya ekspor nasional ke negara-negara yang sebelumnya sulit atau belum disasar.

Melalui perjanjian ini, 160 negara anggota WTO berkomitmen menyederhanakan dan meningkatkan transparansi berbagai aturan ekspor, impor, dan barang dalam proses transit, sehingga kegiatan perdagangan dunia semakin cepat, mudah, dan murah.

Perjanjian fasilitasi perdagangan juga memfasilitasi ekspor Indonesia ke pasar-pasar non tradisional seperti di Afrika, Amerika Latin, Asia Tengah, dan Barat yang masih diwarnai biaya transaksi yang relatif tinggi.

Dari hasil kajian Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), penurunan 1 persen biaya atau ongkos transaksi perdagangan dunia bisa menyumbang US$40 miliar perekonomian dunia, dan dua pertiga-nya dinikmati negara berkembang. Rihad Wiranto


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar