Jumat, 06 Desember 2013

Langkah Strategis Kendalikan Nilai Tukar Rupiah




Rupiah kembali mendapat tekanan. Akhir pekan lalu, rupiah bahkan sudah tembus ke angka psikhologis Rp12.000 per dolar Amerika. Menurunnya niai rupiah pada level di atas Rp12.000 diyakini para petinggi moneter Indonesia dan para pelaku pasar sangat riskan. Umumnya para pengamat menyatakan bahwa seharusnya rupiah tidak melewati Rp11.500, sebuah titik yang sesuai dengan kondisi riil ekonomi Indonesia.

Jika nilai tukar melonjak hingga di atas angka itu, maka ada faktor lain yang menyebabkannya. Faktor tersebut tentu saja adalah terkait keyakinan pemegang rupiah. Ada beberapa orang yang gelisah melihat rupiah melemah. Pertama, perusahaan yang mempunyai kewajiban untuk melunasi utang atau melakukan transfer keuntungan atau pembayaran lain ke luar negeri.

Melonjaknya permintaan dolar di akhir tahun sebenarnya sangat wajar. Menurut penuturan Menteri Keuangan Chatib Basri, kebutuhan dolar per November oleh perusahaan di Indonesia itu mencapai US$6,3 miliar. Masalahnya, apakah rupiah harus merosot begitu jauh untuk sebuah agenda permintaan dolar yang sudah terpola setiap tahunnya.

Kekhawatiran pengusaha yang berlebihan mendorong mereka mencari dolar sekarang meski kewajiban membayar masih jauh. Ini wajar terjadi karena mereka tidak ingin menanggung beban lebih besar jika rupiah merosot d kemudian hari.

Pihak lain yang khawatir dengan penurunan rupiah tentu adalah para pengimpor. Manufaktur Indonesia banyak mendatangkan bahan baku dari luar negeri. Dan importir ini akan mencari dolar lebih cepat jika mereka khawatir rupiah melemah. Selain itu, pengimpor cenderung akan menahan uang hasil ekspor tetap dalam mata uang dolar dengan menyimpannya di luar negeri.

Fakror lain, dalam sebuah situasi yang fluktuatif, para spekulan mulai bekerja mengambil keuntungan. Jika tidak dikendalikan segera, mata uang rupiah akan menjadi permainan mereka untuk mendapatkan keuntungan di balik kesusahan orang lain.

Sayangnya, kekhawatiran mereka itu tidak sepenuhnya bisa dikendalikan faktor internal sehingga tidak sepenuhnya bisa dikendalikan instrumen dalam negeri. Bahkan faktor eksternal sangat mendominasi. Rencana Amerika untuk mengurangi stimulus menjadi isu utama saat ini. Hanya soal waktu saja yang harus dipikirkan oleh Bank Sentral Amerika agar keputusan pengurangan stimulus tidak menjadi malapetaka dunia yang berimbas ke Amerika juga.

Ketika Amerika berusaha mengurangi stimulus itu beberapa waktu lalu, gejolak pasa di negara berkembang justru mengancam perekonomian dunia secara keseluruhan. Mata uang di berbagai negara termasuk rupiah saat itu menurun drastis. Bagaimana pun Amerika tidak ingin dolar terlalu kuat. Produk Amerika akan terasa lebih mahal di pasar-pasar negara berkembang dan itu bisa mengancam ekspor negara itu. Bahkan Amerika pernah marah terhadap China yang dulu sempat mempertahankan nilai mata uang yuandalam kondisi rendah. Ini dilakukan China demi menjaga ekspor produk Tirai Bambu itu ke Amerika.

Struktur ekonomi China dan Indonesia kebetulan berbeda. China yang mengandalkan ekspor untuk pertumbuhannya, jelas lebih suka nilai mata uang yuan tidak terlalu kuat. Tetapi Indonesia adalah negara yang sangat mengandalkan sektor konsumsi sebagai penggerak utama pertumbuhan.Banyak produk konsumsi yang kita impor.


Sayangnya, pabrik-pabrik kita juga banyak sekali mengandalkan bahan baku impor. Niai rupiah yang melemah akan menurunkan kemampuan mereka membeli bahan baku. Di satu sisi nilai ekspor dalam mata uang rupiah memang akan meningkat. Tapi jika komposisi biaya didominasi dolar, maka perusahaan itu tetap akan mendapatkan kesulitan besar.

Pada ekonomi yang banyak tergantung impor, Indonesia akan menghadapi kesulitan jika dolar terlalu kuat. Salah satu faktor yang sangat memukul ekonomi kita adalah impor bahan bakar minyak yang terus meningkat. Dalam mata uang dolar yang melonjak sekarang, uang yang harus dibayar untuk impor BBM semakin besar pula.

Data BPS menunjukan impor minyak pada Oktober 2013 sebesar 2,24 juta ton atau senilai US$ 2,14 miliar. Ini didominasi oleh impor BBM premium yang sebesar 1,04 juta ton atau US$ 1,06 miliar. Pada akhir tahun umumnya kebutuhan BBM juga meningkat karena banyak hari libur.
Kombinasi antara masalah eksternal dan internal ini menjadikan persoalan pelemahan rupiah perlu disikapi dengan cermat. Dari sisi psikhologis, pasar membutuhkan keyakinan bahwa ekonomi Indonesia memang kuat seperti yang dikatakan pemerintah.

Langkah cepat pemerintah di bawah komando Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu diapresiasi. Langkah pemerintah itu antara lain akan menyiapkan dana stabilisasi yang disiapkan dengan melibatkan BUMN. Jika ada pelemahan tidak wajar dari rupiah maka dana ini bisa dikeluarkan.

Pemerintah juga sudah menyiapkan protokol penanganan krisis. Bank Indonesia pun akan terus menjaga pasar rupiah. Langkah-langkah stratgis ini setidaknya mulai menenangkan pasar, sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar secara perlahan mulai meningkat belakangan ini.

Tapi kewaspadaan tetap perlu. Dalam situasi di mana faktor eksternal sangat dominan terkait rencana pengurangan stimulus Amerika, maka Indonesia tidak bisa mengatasi masalah ini sendiri. Komunikasi terus menerus dengan pemerintah negara sahabat sangat diperlukan.

Negara yang akan terkena imbas atas “tappering off” ini bukan saja Indonesia tapi banyak negara. Indonesia tidak akan bisa mencegah rencana Amerika itu, tapi kita bisa mengkomunikasikan risiko yang timbul jika rencana itu dilaksanakan dalam skala dan waktu yang tidak tepat. (dimuat di Jurnal Nasional Kamis 5 Desember 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar