Kamis, 19 September 2013

Syarat Agar Program Mobil Murah Berhasil

Macet....


Indonesia adalah sebuah ironi bagi pasar kendaraan bermotor. Jumlah penjualan terus meningkat dari tahun ke tahun tapi pertumbuhan jalan tidak sekencang penjualan mobil dan sepeda motor.  

Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Sudirman Maman Rusdi menyatakan penjualan mobil tahun 2013 mencapai 1 juta unit. Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil selama periode Januari hingga September tahun ini mencapai 816.322 unit. Angka tersebut mendekati total penjualan tahun lalu sebesar 894.164 unit. Dengan demikian, target penjualan 1 juta unit tahun ini diyakini akan tercapai.

Selama periode sembilan bulan tahun ini, penjualan tertinggi diraih oleh Toyota sebanyak 298.646 unit, disusul Daihatsu 120.664 unit, Mitsubishi 109.461 unit, dan Suzuki 87.882 unit.

Target Kementerian Perindustrian sekitar 950.000 unit seperti disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Budi Darmadi. Baru tahun depan diperkiarakan 1,1 juta mobil bisa terjual di Indonesia.

Melonjaknya penjualan mobil terkait dengan semakin banyaknya penduduk kelas menengah. 
McKinsey Global Institute memperkirakan kelas konsumen Indonesia 45 juta orang pada 2010 dan akan tumbuh menjadi 135 juta orang di tahun 2030.  

McKinsey Global Institute mengkategorikan kelas konsumen sebagai penduduk dengan pendapatan per kapita lebih besar atau sama dengan US$3.600 per tahun atau sekitar Rp30 juta.

Kemudahan dalam kredit juga membuat semakin banyak penduduk bisa membeli kendaraan. Para pembeli yang relative taat melunasi utang itu telah menumbuhkan indsutri leasing di Indonesia.

Pada survey yang dilansir situs online Google dan Netpop Agustus lalu menyebutkan ada lima alasan masyarakat Indonesia membeli mobil baru. Alasan terbesar, 48 persen, adalah mengakomodasi jumlah keluarga yang bertambah besar.  Alasan lain yang cukup signifikan yakni menggantikan mobil tua (44 persen), mendapatkan mobil yang lebih irit (43 persen), mendapatkan fitur terbaru (41 persen) dan memperoleh jenis mobil lain, misalnya dari sedan ke minibus (35 persen).

Dalam kehidupan sehari-hari, jumlah keluarga yang semakin banyak menuntut alat transportasi yang efisien. Pada kondisi transportasi umum yang belum memadai saat ini, kendaraan pribadi terasa lebih nyaman dan hemat. Bukan hanya kendaraan roda empat, pembelian kendaraan roda dua juga meningkat pesat.

Kita tengok lagi pertumbuhan jumlah kendaraan di Indoesia. Berdasar data BPS, tahun 2000, jumlah kendaraan roda empat hanya 3.038.913  unit, tapi tahun 2011  sudah mencapai 9.548.866 mobil.  Itu artinya naik tiga kali lipat dalam waktu 11 tahun.
Bagaimana dengan sepeda motor? Pada 2000, jumlahnya baru 13.563.017 unit, tapi tahun 2011 sudah mencapai  68.839.341 motor atau naik lima kali lipat.

Jika ditambah jumlah truk dan bus yang juga naik berlipat, maka ruas jalan yang ada semakin tarasa sempit.  Pada 2000 panjang jalan hanya 348.083 kilometer, pada 2011 baru 496.607 kilometer, hanya tambah panjang 1,4 kali.

Berdasar data 2011, Indonesia masih ketinggalan dibandingkan dengan negara ASEAN yang lain. Di Indonesia, panjang jalan hanya 160 km/1 juta penduduk, di Thailand atau Korea mencapai 800 km/1 juta penduduk. Bahkan Jepang 6.000 km/1 juta penduduk.

Dengan kondisi pertumbuhan jalan lebih lambat dibandingkan kenaikan jumlah kendaraan,  maka pantas program mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) menjadi kontroversi.

Sebagian orang menentang kehadilan mobil murah ini.  Di satu sisi, harga mobil murah di bawah Rp100 juta akan membuat permintaan kendaraan melonjak. Di sisi lain, pertumbuhan jalan tidak sebanding. 

Tetapi sebagian orang lainnya memandang kehadiran kendaraan hemat energi ini akan memberi keuntungan tersendiri bagi lingkungan dan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Sebagai catatan, ada produsen kendaraan yang mengklaim konsumsi BBM irit, hingga 20 km/liter.

Seperti disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, ada tiga hal yang ingin dicapai oleh pemerintah dari mobil murah ini. Pertama, konsumsi BBM bisa dihemat, jika masyarakat cenderung menggunakan kendaraan hemat energi.

Kedua, pemerintah ingin mengurangi 26 persen efek gas rumah kaca pada 2020 dengan memperkenalkan kendaraan “hijau” tersebut. Ketiga, mobil kecil ini akan menjadi bibit kendaraan nasional.

Apakah tujuan itu akan tercapai? Sesungguhnya ada beberapa syarat agar program mobil hijau ini bisa sukses. Pertama, pembangunan infrastruktur jalan harus terus dilakukan. Pada akhirnya, kemacetan akan menambah konsumsi BBM. Dinas Perhubungan DKI pada 2010 menghitung potensi kerugian Rp45 triliun akibat kehilangan waktu sebagai buntut kemacetan. Sedangkan pemborosan BBM mencapai Rp28 triliun lebih per tahun.
 
Kedua, kebijakan pemerintah terkait penggunaan bahan bakar terbarukan harus dikembangkan. Secara bertahap penggunaan bahan bakar gas dan biofuel harus digalakkan lagi. Infrastruktur seperti stasiun bahan bakar gas yang sudah masuk program harus dilaksanakan sesuai jadwal.  

Ketiga, program pembuatan mobil nasional sudah dimulai sejak lama, tetapi menemui banyak hambatan. Diperlukan pemberian insentif untuk penelitian dan pengembangan terkait program mobil nasional. Tanpa kemudahan, program mobil nasional akan kalah bersaing dengan perusahaan otomotif yang sudah mapan.

Keempat, perusahaan pemasok industri otomotif seperti bahan baku besi baja, aluminium, karet dan plastik perlu terus dikembangkan di Indonesia. Mereka juga perlu mendapat perhatian pemerintah khususnya dalam membangun industri otomotif nasional yang sebanyak mungkin menggunakan komponen lokal.



Rabu, 11 September 2013

Sepenting Apa Kedelai Buat Indonesia?

Kedelai, tempe dan tahu


Ribut-ribut soal kedelai, banyak orang yang berteriak. Ibu rumah tangga berteriak karena harga tahu dan tempe naik hingga 25 persen. Semula tempe dan tahu adalah makanan berprotein yang murah, eh.. lama-lama ngelunjak (alias naik).

Mau beralih ke protein hewani seperti daging sapi, harganya malah lebih parah hingga pernah mencapai di atas Rp150 ribu per kilo.  Daging ayam, telor, dan ikan pun tak murah. Tempe dan tahu adalah andalan protein keluarga Indonesia. Dalam 100 gram tempe mengandung 201 kilo kalori energi, 20,8 gram protein, 8,8 gram lemak, 13,5 gram karbohidrat dan 1,4 gram serat.

Bukti bahwa orang Indonesia doyan tempe dan tahu terlihat  dari konsumsi kedelai yang naik terus. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tahun 2012, total kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,2 juta ton. Sebanyak  83,7 persen diantaranya untuk pangan, terutama tahu-tempe. Kebutuhan industri Kecap, Tauco, dan lainnya hanya 14,7 persen dan benih 1,2 persen.

BPS memperkirakan produksi kedelai dalam negeri akan mencapai  847,16 ribu ton biji kering untuk tahun 2013.  Angka ini naik 0,47 persen dibandingkan data produksi kedelai 2012 sebesar 843,15 ribu ton.  Namun, jumlah produksi kedelai ini masih jauh lebih rendah dari kebutuhan kedelai yang mencapai lebih 2,2 juta ton. Lagi-lagi, Indonesia harus impor.  Dari data itu terlihat sungguh ironis, makanan kesukaan orang Indonesia itu justru dipasok dari luar negeri.    

Tingginya konsumsi membuat industri tahu tempe menjadi andalan banyak tenaga kerja.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu/Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin mencatat di seluruh Indonesia ada 114.575 perajin dengan tenaga kerja 1,5 juta orang. Akibat kenaikan harga tempe, banyak perajin yang menghentikan usahanya. Sebanyak 10 persen  yang sudah menghentikan produksinya. Sekitar 300.000 pekerja dirumahkan.

Amerika sangat senang dengan kegemaran orang Indonesia makan tahu tempe. Maklum Amerika produsen kedelai terbesar di dunia. Amerika Serikat merupakan negara pengekspor terbesar ke Indonesia.

Pada 2012, kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta ton. Impor kedelai terbesar dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton pada 2011. Impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton.

Tahun lalu terjadi anomali cuaca di Amerika Serikat dan Amerika Selatan yang menyebabkan pasokan kedelai turun dan harganya melonjak. Harga kedelai internasional pada minggu ke-3 Juli 2012 mencapai US$622 per ton atau Rp8.345 per kilogram untuk harga impor di dalam negeri.

Harga ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga tertinggi pada 2011, yaitu bulan Februari sekitar US$513  per ton atau harga paritas impor di dalam negeri sekitar Rp 6.536 per kg.  

Meski kedelai naik, pedagang tak ingin kehilangan konsumen. Bagi pengusaha jauh lebih baik mendapat keuntungan kecil dibandingkan kehilangan pelanggan. Untuk mencegah kerugian, pedagang mengecilkan bentuk tempe atau tahu. Sehingga konsumen masih bisa beli tahu atau tempe meski ukurannya mengkeret alias mengecil.

Ketergantungan kepada impor menimbulkan risiko harga di dalam negeri berfluktuasi. Pertama, soal kenaikan harga kedelai di Amerika. Kedua, turunnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika. Masalah pasokan kedelai tidak ada masalah, tetapi harga memang naik dari produsen.

Menentukan harga kedelai yang pas juga dilematis. Harga yang terlalu rendah akan menyebabkan para petani di Indonesia tidak berminat menanam kedelai. Akibatnya pasokan dari dalam negeri terancam menyusut. Impor akan membesar karena dirasa lebih menguntungkan karena harga yang relative murah.

Di sisi lain, jika harga kedelai naik, konsumen tahu tempe yang keberatan. Petani kedelai tentu diuntungkan karena pendapatan mereka lebih besar. Menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dan petani perlu dicarikan rumusan yang tepat.

Pada prinsipnya, dari sisi ketahanan pangan, jauh lebih baik jika mayoritas kedelai dipasok dari dalam negeri. Langkah menuju swasembada kedelai harus diteruskan. Rakyat Indonesia suatu saat akan bisa menerima harga kedelai mahal asalkan itu hasil jerih payah petani sendiri. Petani kedelai makmur, konsumen pun senang.


Para pedagang perlu memahami tentang hubungan antara harga kedelai dengan kegairahan petani menanam kedelai. Pedagang tidak bisa terus menerus menekan harga kedelai dengan mengabaikan hukum ekonomi. Harus ada penyesuaian antara kepentingan konsumen, pedagang dan petani. Berbagai kementerian musti merumuskan masalah ini dalam perspektif jangka panjang menuju swasembada kedelai yang menguntungkan petani dan konsumen sekaligus. 

Minggu, 01 September 2013

Masyarakat Indonesia Makin Boros



Masyarakat kita cenderung boros ya...

Pada jaman dulu, ketika seseorang bertemu kerabatnya, pertanyaan yang paling lazim adalah “sudah makan belum?”. Maklum, ketika itu masyarakat Indonesia masih berkutat dengan kebutuhan pangan.

Kini, ketika bertemu dengan saudara atau rekan kerja, yang ditanyakan adalah berapa anak, rumah dimana, atau mungkin jumlah mobil dan kepemilikan saham. Faktanya, kemajuan ekonomi membawa pola hidup yang lebih menuntut. Buntutnya,  gaya hidup modern  cenderung lebih boros.

Kalangan menengah Indonesia makin banyak, mereka memiliki gaya hidup yang tak mau serba pas-pasan. Indonesia saat ini tercatat menduduki peringkat 16 dunia dari sisi total PDB. Beberapa lembaga riset internasional, misalnya McKinsey Global Institute meramalkan, Indonesia akan menduduki peringkat ke-6 atau ke-7 dunia pada 2030. Jumlah kalangan menengah akan mencapai di atas 135 juta dibandingkan saat ini sekitar 50 juta orang.

Kaum yang berduit mengubah acara makan dari sekadar mengisi perut menjadi petualangan selera. Mereka berganti-ganti restoran untuk menjajal makanan dan menu. Kadang mereka mengabaikan porsi makanan, wajar jika masalah kegemukan pun menjadi masalah baru di Indonesia.

Prevalensi gemuk pada anak Indonesia meningkat dari 12,2 persen (2007) menjadi 14 persen (2010).  Padahal, anak yang gemuk memiliki risiko untuk tetap gemuk hingga  dewasa, yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko terkena penyakit kronis seperti diabetes dan jantung. 

Tak hanya di Indonesia, masyarakat dunia yang lebih maju sudah boros duluan. Berdasarkan data FAO (Food and Agriculture Organization), setiap tahun 1,3 miliar ton makanan di dunia terbuang atau hilang.  Di sisi lain, satu dari tujuh  orang di dunia tidur dalam keadaan lapar. Lebih dari 20.000 anak-anak di bawah 5 tahun meninggal dalam perut kosong.  

Salah satu perilaku boros lainnya adalah kebiasaan naik kendaraan pribadi. Mengantar anak, belanja ke pasar, pergi ke rumah tetangga, yang jaraknya mungkin hanya beberapa meter, mereka naik motor. Pantas jika penggunaan bahan bakar minyak terus (BBM) melonjak.

Asal tahu saja,  impor BBM Indonesia per harinya sekitar 700.000-800.000 barel per hari. Ini akibat kebutuhan BBM orang Indonesia mencapai 1,4 juta kiloliter (KL) per  hari. Konsumsi BBM yang tinggi menyebabkan subsidi pun membengkak. Pada 2012, realisasi subsidi BBM Rp211,9 triliun, membengkak jauh di atas anggaran awal Rp137,4 triliun.

Banyaknya belanja jelas akan menciptakan pertumbuhan. Indonesia dengan jumlah penduduk 240 juta, jika semuanya suka belanja, tentu akan menggerakan ekonomi.
Tapi konsumsi boros  akan menimbulkan masalah serius  di kemudian hari.

Dampak makanan sisa ini tidak hanya dari sisi finansial, namun juga memberikan dampak secara lingkungan. Makanan yang terbuang ini berarti juga membuat bahan-bahan kimia dari proses pemupukan dan pestisida, emsisi gas buang transportasi makanan itu juga terbuang.

Makanan-makanan yang terbuang ini justru akan menambah gas methana yang seharusnya tidak perlu ada. Zat ini menurut catatan PBB memiliki daya rusak 23 kali dari CO2 dalam hal mengakibatkan efek rumah kaca.

Belum lagi dampak dari pemborosan BBM yang tidak terkendali. Selain lingkungan hidup yang kotor, kecenderungan impor BBM yang terus membesar bisa menimbulkan keseimbangan ekonomi secara keseluruhan semakin terganggu.

Konsumsi yang besar apalagi dipenuhi dengan impor, akan menjadikan Indonesia tidak aman, termasuk pangan. Kcenderungan makan berbahan dasar pangan impor makin besar.

Volume impor gandum Indonesia pada 2011 mencapai 5,4 juta metric ton atau senilai US$2,1 miliar. Pada 2012, volume impor gandum Indonesia naik menjadi 6,2 juta metric ton atau senilai US$2,2 miliar.

Pada periode Januari-April 2013, volume impor gandum Indonesia mencapai 2 juta metric ton, naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu 1,9 juta metric ton. Nilai impor gandum Indonesia pada Januari-April 2013 mencapai US$771,4 juta.

Indonesia mengimpor gandum paling banyak dari Australia (70,7 persen), disusul Kanada (14,9 persen), dan Amerika Serikat (11 persen). Indonesia juga mengimpor gandum dari India, Rusia, Pakistan, dan Turki. 

Belum lagi impor kedelai yang juga menjadi bahan makanan penting bagi orang Indonesia.

Diperlukan perubahan gaya hidup yang berbasis pada kekayaan lokal, misalnya dengan mengembangkan makanan hasil bumi Indonesia. Makanan olahan yang harus dikembangkan semestinya adalah produk berbasi pertanian Indonesia seperti umbi-umbian yang banyak ditemui di lading kita. Kreatifitas pengolahan beras juga bisa mengurangi kecenderungan untuk makan mie atau roti.

Kearifan lokal Indonesia sebenarnya sudah membekali kita dengan berbagai teknik masak yang dapat memperpanjang daya tahan makanan. Rendang, misalnya, dapat bertahan berhari-hari, bahkan ada yang sampai dalam hitungan bulan. Teknik pengeringan ikan dengan cara diasap atau diasinkan lalu dijemur juga menjadi cara yang efektif.